MTC MEDIA – Malang. Bagian kedua dari tulisan bersambung “Tragedi Cinta Lama”. Kisah seorang istri dari Ksatria Abhimanyu, eksplorasi batin dan konfrontasi Utari dengan jati diri, hati, dan sikap heroisme Abhimanyu, suaminya.
Heroisme Ksatria Muda Abhimanyu
Abhimanyu tampil sebagai seorang senapati gagah berani dan ganas di pihak Pandawa, yang mampu melawan para kesatria besar pada pihak Korawa seperti senorita Drona, Karna, Duryodana maupun Dursasana. Ia dipuji karena keberaniannya serta rasa setia yang tinggi terhadap ayah, paman dan sekutunya.
Ia seringkali dianggap sebagai ksatria yang terberani dari pihak Pandawa, yang bersedia mengorbankan diri pada peperangan. Dia menjadi kesatria paling muda di perang Bharattayuddha, dengan usia baru menginjak 16 tahun. Ia gugur sebagai “Hero” pada pihak Pandawa, sekalipun dengan cara yang amat menyedihkan.
Sebagai seorang ksatria muda, putra ksatria Arjuna, Abhimanyu berpendirian bahwa dirinya sebagai pemuda dewasa dan sekaligus sebagai warga negara wajib mengabdikan diri untuk melawan kejahatan. Dharma ksatrianya tiada terkira. Abhimanyu berbulat niat untuk terjun ke medan laga kendati kala itu istrinya tengah hamil tua, meski usia nikahannya belum lama, walau para tetua Pandawa mencegahnya untuk turun terjun ke kancah Bharattayuddha.
Kekejian Kurawa pada perang Bharattayuddha tak hanya dialami oleh Abhimanyu, yang tewas pada hari ke-13 Bharattayuddha, numun juga dialami oleh Uttari. Hanya berselang sepekan pasca kematian Abhimanyu, yaitu pada hari ke-18 Bharattayuddha, Aswatama dari kubu Korawa melancarkan serangan ke arah janin dalam kandungan Uttari dengan senjata “brahmastra” untuk memusnahkan penerus Pandawa.
Janin itu tewas seketika, tetapi berhasil dihidupkan kembali berkat bantuan Kresna. Anak tersebut setelah lahir diberi nama “Parikesit”, yang menjadi penerus garis keturunan Pandawa, sebagai pelanjut Wamsa Kuru, yang kelak menjadi raja di Hastinapura. Pariksit yang acap disebuti sebagai “The Last Pandawa” memetik karmapala (buah perbuatan) dari dharma ksatria ayahnya (Abhimanyu), yang menjadi martir (Hero, pahlawan) pada perang akbar Bharattayuddha.
Demikian “tragedi cinta Abhimanyu-Uttari”, yang menjadi bagian paling mengharu biru pada kitab wiracarita Mahabharatta dan Kakawin Bharattayuddha. Terkandung tuntunan hidup di dalamnya, ada spirit juang dan tanggung jawab ksatria untuk negara pada susastra lama ini, yang masih tetap relevan untuk diteladani pada masa kini maupunΒ mendatang. Semoga tulisan yang bersahaja ini memberikan kefaedahan kepadai para pembaca budiman. Nuwun.
Griyajar CITRALEKHA, 15 Maret 2024