MTCMedia – Malang. Bagian kedua dari tulisan bersambung “Tragedi Cinta Lama”. Kisah seorang istri dari Ksatria Abhimanyu, eksplorasi batin dan konfrontasi Utari dengan jati diri, hati, dan suaminya yang gugur kala dirinya tengah hamil.
Abimanyu Gugur Ketika Utari Tengah Hamil
Abhimanyu Gugur di Medan Tempur
Pernikahan Abhimanyu dan Uttari berlangsung tak lama sebelum meletus perang “Bharattayuddha”. Perang saudara dahsyat berdurasi 18 hari. Dibilang “dahsyat”, karena pertempuran yang berlangsung di Kuruksetra ini menelan korbanΒ 9.539.050 jiwa — belum termasuk tewasnya para panglima perang (senapati) dan binatang-binatang penarik kendaraan perang seperti gajah, kuda, dsb.
Salah seorang korban adalah Abhimanyu, yang gugur di hari ke-13 perang Bharattayuddha. Abhimanyu adalah ksatria termuda (baru berusia 16 tahun), yang gugur dengan mengenaskan seperti apa yang dipersumpahkan kepada Utari, yakni “… wani mati dikrocok gaman sewu (berani bersumpah mati dihujam oleh seribu senjata)”.
Ketika perang Bharattayuddha berlangsung, Uttari tengah hamil. Terdapat beberapa versi berbeda mengenai usia kehamilannya. Ada yang menyatakan baru hamil muda (tiga bulan), dan ada pula yang mengemukakan telah hamil tua (sembilan bulan). Sebagai istri yang tengah hamil, Uttari tak mau lepas dari suami tercinta walau sekejap waktu.
Namun di pihak lain, sebagai anggota keluarga luas (extended family) Pandawa dan spirit dharma ksatrianya memicu bhakti Abhimamyu untuk membela ayah (Arjuna) dan paman-pamannya yang tengah berada di titik kulminasi perang Bharattayuddha demi membela kehormatan dan hak atas tahta keluarga di Indraprasta. Pada akhirnya Abhimanyu memutuskan terjun ke medan laga, kendati ayahnya (Arjuna) tak menghendaki anaknya yang masih amat muda dan sedang pengantin baru itu terlibat dalam perang Bharattayuddha.
Suatu varian cerita bahkan berkisah bahwa Abhimanyu disembunyikan di tempat amat rahasia, dan dijaga oleh istri (Utari) dan ibunya (Subhadra), tidak boleh keluar dari tempat sembunyinya. Semua orang tua di pihak Pandawa mewanti-wanti kepada Abimanyu agar tidak turut berperang melawan Kurawa.
Dalam diri Abhimanyu terjadi “perang batin”, antara mengikuti wanti-wanti orang tua atau bela Negara. Pada hari ke-13 Bharattayuddha, tidak terbendung niat Abhimanyu untuk turut terjun ke medan laga. Tidak diperoleh berita apakah Abhimanyu berpa- mitan pada Utari dan ibunya (Subhadra) sebelum berangkat ke medan laga.
Ada versi kisah yang menyatakan bahwa dia pergi dengan diam-diam, lantaran Abhimanya tak kuasa hati pamit perang kepada istrinya yang tengah hamil tua, dan jikapun berpamitan tentu istri dan ibunya tidak menyetujui keberangkatanya ke medan laga.
Dalam kondisi dilematik itu, Abhimanyu memperoleh inspirasi dari undur-undur (Myrmeleon), yaitu serangga kecil famili Myrmeleontidae ordo Neuroptera, yang cara jalannya mundur perlahan-lahan. Abhimanyu pun perlahan lahan dan diam-diam pergi tinggalkan istri (Uttari) untuk turun tempur di palagan Kuruksetra. Menjelang berangkat Abimanyu meminta saudara seayahnya, Bambang Sumitra, agar bersedia jadi kusirnya. Sumitra pun gugur diatas kereta terkena lesatan mata panah yang menembus jantungnya.
Sebetulnya, Abhimanyu belum dijadwalkan untuk turun berperang, tetapi kondisi darurat mendesak untuk tampil sebagai senapati di kancah perang Bharattayuddha, karena hanya dirinya yang dinilai tahu cara mematahkan formasi tempur “cakrabhuya (roda berputar)” di pihak Kurawa. Memang, ksatria muda Abhimanyu berhasil menembus fornasi tempur cakrabyuha. Namun, seakan dia teserap ke dalam roda berputar itu dan tak tahu cara keluar dari dalamnya. Pengepungan terhadap Abhimanyu dituntaskan oleh Kurawa dengan menambahkan strategi “supit urang (capit udang)”.
Ikhtiar para Pandawa dan sekutunya untuk dapat membantu Abhimanyu keluar dari formadi cakrabyuha berhasil ditahan oleh Jayadrata, yakni Raja Sindhu yang me- nikahi Dursilawati (adik bungsu wanita dariΒ Korawa bersaudara). Dalam kondisi demikian itu, praktis Abhimanyu berjuang sendirian dalam mengadapi serangan serempak tujuh tokoh Hastina (Drona, Sangkuni, Aswatama, Karna, Salya, Dursasana hingga prabhu Droyudhana sendiri), yang terus menyerang tanpa mengindahkan aturan perang.
Kendati tubuh Abhimanyu tertancapi ribuan senjata (diistilahi “arang kranjang”)Β hingga terlihat seperti landak, namun masih mampu bertahan hingga pedangnya patah dan roda kereta yang dijadikannya sebagai perisai hancur berkeping-keping. Bahkan, ia berhasil menewaskan sejumlah anggota kekuarga Korawa, termasuk putra mahkota Kerajaan Hastina,Β yaitu Lesmana Mandrakumara.
Namun, tak berapa lama kemudian, Abimanyu berhasil dibinasakan oleh Jayadrata dengan mempergunakan senjata gada Glinggang (Galih Asem). Gambaran tentang semangat tempur Abhimanyu didapati juga dalam Kakawin Bharattayuddha “… Abhimanyu makin semangat. Ia memegang cakramnya, dan dengan panah yang patah ia mengadakan serangan. Dengan ketetapan hati ia mengamuk untuk mencari keharuman nama …”.
Abhimanyu adalah ksatria yang mengalami “kekerasan pada puncaknya (violence to the utmost)” yang diperlihatkan di dalam perang. Ribuan panah dan tombak dihunjamkan ke tubuhnya, sehingga mengalami luka yang sangat parah, yang dalam pewayangan Jawa diistilahi dengan βtatu arang kranjangβ. Tak hanya itu, tubuh Abhimanyu hancur oleh injakan kaki gajah. Pamungkasnys, kepala Abhimanyu pecah dihantam oleh gada Jayadrata. Masih belum merasa puas, Jayadrata menginjak, menendang, meludahi, memukul, mencincang diri Abimanyu hingga tubuh dan wajahnya rusak dan nyaris tak dikenali.
Tragedi “Abhimanyu Gugur” ini dalam pewayangan Jawa diberi lakon “Ranjapan Abimanyu”. Gambaran demikian itu juga didapat pada Kakawin Bharattayuddha “…. Pada waktu itu seluruh keluarga Korawa menjadi marah, dan dengan tiada henti-hentinya mereka memanahkan senjatanya. Baik kuda maupun kusirnya, badan, tangan, kaki, punggung, dada, dan muka Abimanyu terkena ratusan panah…. Ketika Abimanyu terbunuh dalam pertempuran, badannya hancur… Mayatnya terlihat dalam sinar bulan dan telah tercabik-cabik, hingga menjadi halus seperti mentimun”.
Balut Duka Hati Uttari atas Kematian Suami
Tak ada sedih yang paling sedih bagi seorang istri ksatria selain saat keberangkatan suami ke Medan tempur. Suasana harubiru demikian dialami oleh Utari. Terlebih ketika itu ia tengah hamil tua untuk calon putranya yang pertama, dan Abhimanyu berangkat ke medan perang secara diam-diam tanpa berpamitan padamya.
Usia pernikahan keduanya pun boleh dibilang “masih pengantin baru (manten anyar)”. Kepedihan makin menjadi manakala suami terkasih (Abhimanyu) gugur secara mengenaskan di medan laga, dengan tubuh tertancapi ribuan senjata, tubuhnya hancur, kepalanya pecah, sehingga nyaris tak dapat dikenali jasatnya. Demikianlah, sumpah bohongnya kepada Uttari dahulu menjadi kenyataan, yakni “mati dikrocok gaman sewuβ.
Ksiti Sundari yang dalam pernikahannya dengan Abhimanyu belum ikaruniai putra, turut suami ke alam kematian dengan lakukan belapati (alabuh geni, sati), yakni ikut terjun dalam api pembakaran (pancaka). Berbeda dengan Uttari, yang tidak turut berbelapati. Hal itu bukan berarti Uttari tidak setia kepada suami, melainkan lantaran kala itu ia tengah hamil tua.
Perempuan cantik ini dikisahkan sebagai mempunyai watak halus, wingit, selalu sopan dan amat berbakti, termasuk pula bhaktinya terhadap suami. Justru karena ia tak boleh lakukan belapati itu, kian menjadikan pedih hatinya. Hingga waktu yang lama, setiap kali Uttari mendengar suara burung cucur, titikklah air mata, terkenang kematian suami (Abhimanyu), ayah Pariksit, yakni putranya semata wayang yang lahir pasca gugur sang ayah.
Bersambung…