HomeOutlookEducation & IssuesBedug dan Kenthongan: Petanda Bunyi Jelang-Pasca Kegiatan Ibadah

Bedug dan Kenthongan: Petanda Bunyi Jelang-Pasca Kegiatan Ibadah

MTC MEDIAMalang. Salah satu kelengkapan di masjid-masjid lama adalah (a) bedug dan (b) kenthongan. Keduanya adalah waditra (music instrument), sumber bunyi musikal, yang dibunyikan pada momentum tertentu, yaitu pada saat menjelang dan pasca lakukan ibadah sholat, puasa, hari raya (Idul Fitri dan Adha), kenduri, dsb. Dalam konteks keberadaan bedug dan kenthongan di masjid atau surau (langgar atau musolah), maksud pembunyiannya adalah memberikan tanda bunyi (sound signal) bagi suatu kegiatan religi. Namun, bedug kecil (jidor) maupun kethongan kecil acap pula dipergunakan sebagai salah satu waditra pada ansambel musik di dalam kesenian keagamaan, seperti ansambel musik terbang-jidor, jemblung, patrol, dsb.

Pada tiga atau empat dasawarsa lalu dan sebelumnya, hampir keseluruhan masjid dan surau dilengkapi dengan bedug maupun kenthongan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Bunyi musikal keduanya terdengar setiap hari pada waktu-waktu templum, baik siang, sore, malam dan dini pagi. Ketika waditra itu dibunyikan, orang memperoleh informasi bunyi mengenai tibanya bagian-bagian waktu, seperti waktu subuh, waktu lahir, waktu ashar, waktu magrib, waktu isya’, waktu sahur, waktu jelang Ramdhan, waktu jelang idul Fitri dan Idul Adha, waktu jelang kenduri ketupat, dsb. Pendek kata merupakan petanda waktu kegiatan peribadatan, dan sekaligus menjadi petanda bagian-bagian waktu dalam sehari, yang konon disebut dengan “tabuh”. Aktifitas untuk membunyikan kedua waditra itu karenanya disebuti dengan “nabuh”, seperti pada perkataan “nabuh bedug” dan “nabuh kenthongan”.

Sebenarnya, bedug dan kenthongan bukan peralatan yang baru ada di Nusantara pada Masa Pertumbuhan dan Pekembangan Islam, melainkan telah kedapatan pada Masa Hindu-Buddha. Sebutan kuno untuk bedug adalah “teg-teg”, adapun kenthongan dinamai “kul-kul”. Alat bunyi tersebut, semenjak itu telah dijadikan sebagai petanda bunyi, yang memberi petunjuk waktu (disebuti “tabuh”,). Selain itu acap dipergunakan sebagai alat komunikasi sosial, seperti petanda undang untuk berkumpul (rubung, dan karenanya tempat bagi kul-kul disebut “parubungan” dan kini di Bali dinamai dengan “bale kul-kul”). Tergambar bahwa bedug dan kenthongan telah menempuh perjalanan panjang dalam sejarah budaya Nusantara.

Bedug Masjid Jami’ Ainul Yaqin Ujungpangkah, Gresik. Foto: pergunudiy.or.id

Seiring berjalannya waktu, seiring perkembangan teknologi bebunyian, bedug dan kenthongan yang adalah peralatan bunyi tak ayal mengalami tantangan untuk kesanggupannya bertahan dalam lintas masa. Paling tidak, hingga sekitar tiga atau empat dasawarsa lalu, kedua wadutra ini terlihat masih mampu pertahankan eksistensinya. Namun, seiring marak digunakannya alat pengeras suara (sound system) dan alat perekam, kini bunyi bedug dan kenthongan yang ditabuh secara langsung mulai jarang terdengar. Kalaupun masih diperdengarkan, bunyinya bukan dari penabuhan langsung, namun hasil perekaman yang disuarakan lewat pengeras suara atau melalui media komunikasi publik elektronik.

Kini bedug dan kenthongan telah mulai “kelangan kumandange (kehilangan kumandangnya)”. Tidak sedikit waditra lama itu yang hanya jadi benda simpanan yang telah tak diaktifkan lagi kebunyiannya, seperti barang antik, bahkan ada yang oleh warga tertentu dikeramatkan. Produk teknologi bunyi modern kini terbukti mampu menggusur keberadaanya. Kalaupun terdapat bedug dan atau kenthongan di masjid, keberadaan darinya hanya sekedar pajangan, yang tak dibunyikan atau hanya sesekali dibunyikan, bukan pada keseharian. Keduanya menjadi artefak masa palu, jejak heritage waditra Nusantara. Nuwun.

Griyajar CITRALEKHA, 8 Maret 2024

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like