MTC MEDIA – Malang.Β Tulisan bersambung “Tragedi Cinta Lama”. Kisah seorang istri dari Ksatria Abhimanyu, eksplorasi batin dan konfrontasi Uttari dengan jati diri, hati, dan dunianya.
Pilu…. rasa hatiku
Karena kau pergi jauh
Rindu… aku setiap hari
Kemana aku mencariΒ
Oh… duhai kesuma
Kini kau jauh dimata
Kasih rasa tertumpah
Selama kita berpisah
Tiada tempat mengadu
Cintaku dekat selalu
……………
Termenung mata berlinang
Merintih pagi dan petang
(Lirik lagu Melayu “Pilu”, Asmdar Darwis)
Cobaan Terberat Istri Ksatria
Cobaan yang paling berat untuk ksatria pria bukan hanya “3 ta (tahta, harta dan wanita)”, melainkan ketika dicoba terjunkan ke medan laga. Terlebih pada medan laga model lama, yang mengharuskan untuk bertarung jarak dekat, face to face, yang bisa berujung pada menang-selamat atau kalah-tewas/luka.
Demikian beratnya, sampai-sampai susastra lama menggambarkan mengenai adanya ksatria muda “kurang tatag“, yang terkencing-kencing ketakutan manakala mendengar sangka (terompet cangkang kerang), lengking belalai gajah dan ringkik kuda sebagai pertanda bahwa perang dimulai. Terbayang di pelupuk matanya akan luka, bahkan kematian, yang bisa-bisa menghampiri dirinya.
Cobaan berat juga dialami oleh istri ksatria, utamanya tatkala melepas sang suami pergi ke medan laga. Lebih berat lagi ketika menerima kenyataan bahwa suami tercinta terluka, cacat abadi, bahkan gugur di medan tempur. Ada kesedihan yang mendalam, ada suasana hati yang mengharu biru.
Hal demikian dialami oleh Dewi Uttari ketika suaminya (Abhimanyu) berniat untuk turut terjun ke kancah perang besar Bharatayudha. Oleh sebab hanya ada dua kemungkinan yang bakal dialami oleh suami, yaitu kembali pulang dengan selamat, atau pulang tinggal jasat.
Namun, seberat apapun, istri ksatria musti mengikhlaskan ksatria suaminya untuk pergi berperang, berlaga di medan juang demi kebhaktiannya pada nagari. Mustilah pula mengikhlaskan kematian dan keterpisahan permanen dengan suami terkasih. Harus ikhlas membesarkan anaknya hidup tanpa bapak.
Bersambung…