MTC MEDIA – Malang.
Sungguh licik, Akal permainan licik
Sangat licik, Berlari tak henti licik
Mata tak kenal hari, Hati tak kenal bumi
Jiwa curiga, Sebab tak kenal diri
Yeah
………
[Lirik lagu “Licik (Tuju)”, dicipta : K-Clique]
A. Sabhaparwa di antara Astadasapwra dari Wiravarita Mahabharatta
Wiracarita Mahabharatta (महाभारतम्) adalah salah satu di antara dua wiracarita besar di India — selain Ramayana. Kitab yang secara tradisional dikarang oleh Kresna Dwaipayana Byasa ini kemungkinan disusun pada abad III SM. Bagian tertua disusun tidak sampai 400 SM. Peristiwa asli yang berkenaan dengan wira-carita ini kemungkinan terjadi antara abad IX hingga VIII M. Bentuk final dari naskah ini diduga dibuat pada periode Gupta (sekitar abad IV M). Wiracarita yang mengkisahkan perang saudara antara Pandawa VS Korawa (Kurawa) dalam memperebutkan takhta di Hastinapura ini merupakan salah satu susastra terpanjang yang pernah ada di dunia. Prasasti tembaga (tamraprasasti) disurat pada masa pemerintahan Maharaja Sharvanatha (533–534 M) dari Khoh (distrik Satna di Madhya Pradesh) menyatakan bahwa Mahābhārata merupakan “himpunan dari 100.000 sloka” (śata-sahasri saṃhitā) atau lebih dari 200.000 baris (satu sloka = dua baris), yang terdiri dari sekitar 1,8 juta kata. Dalam tradisi India, Mahabharatta acapkali disebut sebagai “Weda yang ke-5” diantara Catur Weddha.
Naskah besar Mahabharatta merupakan himpunan yang terdiri dari 18 (delapan belas, astadasa atau hastadasa) buku atau parwa, sehingga disebuti dengan “Astadasaparwa (अष्टदशपर्व)”. Hampir setiap kitab memiliki sub-parwa (पर्व : parva ; paruh, bagian). Beberapa buku yang terbilang pendek seperti kitab Prasthanikaparwa dan Swargarohanaparwa tidak memiliki sub-parwa. Setiap buku memiliki jumlah sub-parwa yang berbeda-beda. Apabila dirunut dari Adiparwa hingga Hariwangsa, maka terdapat sekitar 100 sub-parwa dalam wiracarita Mahabharata. Berikut nama-nama dari 18 buku (parwa) dalam Mahabharatta: (1) Adipawara, (2) Sabhaparwa, (3) Wanaparwa, (4) Wirataparwa, (5) Udyogaparwa, (6) Bhis-maparwa, (7) Dronaparwa, (8) Karnaparwa, (9) Salyaparwa, (10) Sauptikapar- wa, (11) Striparwa, (12) Santiparwa, (13) Anusasa- naparwa, (14) Aswamedhikaparwa, (15) Asrama- wasikaparwa, (16) Mosalaparwa, (17) Prasthanika- parwa, dan (18) Swargarohanaparwa.
B. Kisah Permainan Dadu pada “Sabhaparwa”
Sabhaparwa adalah buku ke-2 Mahabharata, yang menceritakan mengenai latar belakang mengapa sang Pandawa Lima diasingkan serta harus masuk ke hutan untuk tinggal di sana selama 12 tahun dan menyamar selama 1 tahun. Latar pengasingannya adalah tragedi main dadu, sehingga adegan ini dalam pewayangan Jawa disebuti dengan “Pendowo Main Dadu”, atau “Pendowo Dadu”. Acapkali pula diberi judul lakon “Bale Sigala-gala”. Suatu lakon di dalam seni pertunjukan wayang, yang bukan saja merupakan tontonan, namun memuat pula tuntunan (tontonan-tuntunan).
Duryodana memikirkan bagaimana cara untuk bisa mendapat kemegahan dan kemewahan di istana Indraprastha. Ia ingin mendapatkan harta dan istana Pandawa itu. Sempat terlintas di dalam benak Duryodana untuk menyerang Pandawa seperti yang diusulkan oleh Adipati Karna. Namun, caranya ini dicegah oleh Sangkuni, karena bakal tak disetujui oleh Dhang Hyang Drona. Peperangan menyebabkan jatuh korban jiwa pada murid-murid Rai Drona, entah yang tewas itu pada pihak Pandawa atau di pihak Kurawa. Sangkuni mengusulkan cara lainnya, yaitu melalui permainan dadu.
Menurut Sangkuni “Yudistira suka main dadu, tetapi dia tak tahu cara bermain dadu dengan akal-akalan. Sementara, aku adalah rajanya main dadu dengan akal-akalan. Undang dia, dan ajaklah bermain dadu. Nanti, akulah yang bermain dadu atas nama pihak Kurawa. Dengan kelicikanku, Yudistira (pemimpin Pandawa) akan mendapat kekalahan. Lewat siasat demikian, Duryodana (varian nama ‘Droyudhana”) bisa memiliki harta benda, bahkan kerajaan milik Pandawa yang megah di Indraprasta”.
Taktik licik Sangkuni ini pun diamini oleh Duryodana, lalu bersama dengan Sangkuni keduanya menghadap Dretarastra agar mengundang Pandawa untuk bermain judi dadu. Mulanya Dretarastra ingin minta pertimbangan dari Widura. Atas hasutan Duryodana dan Sangkuni, Dretarastra pun menyetujuinya tanpa pertimbangan Widura. Segera Dretarastra menyiapkan arena judi dadu. Setelah persiapan selesai, lalu sang raja Hastina itu mengutus Widura untuk mengundang Pandawa bermain dadu di Hastinapura.
Yudistira yang suka permainan dadu itu memenuhi undangan tersebut, bahkan datang dengan disertai saudara-saudaranya (Bhima, Arjuna, Sakula serta Sahadewa), istri beserta para pengawal. Sempat Yudistira berkata kepada Yudistira “Kakanda Prabu, berjudi sebetulnya tidak baik, yang menurut para bijak sebaiknya dihindari, karena seringkalu terjadi tipu-menipu sesama lawan”. Mendengar perkataan dari Yudistira itu, Sangkuni membujuk dengan perkataan “Saya kira jika anda judi dengan Duryodana tidak ada jeleknya, sebab kalian masih bersaudara. Bila Paduka yang menang, kekayaan Duryodana tak hilang sia-sia. Begitu pula apabila Duryodana yang menang, kekayaan Paduka tak hilang sia-sia sebab masih berada di tangan saudara sendiri. Apa jeleknya jika rencana ini kita jalankan?”
Yudistira yang senang bermain dadu pada akhirnya terkena rayuan dari Sangkuni, dan permainan dadu pun dimulai. Sempat Yudistira keheranan kepada Duryodana, mengapa pemain dadu pihak Kurawa diwakilkan pada Sangkuni? Lagi lagi Sangkuni bisa membuat alibi yang termakan oleh Yudhistira tidak bersakwasangka buruk. Mula-mula Yudistira pertaruhkan harta, yang berhasil dikalahkan oleh praktik licik (curang) Sangkuni. Kembali pertaruhkan harta, dan kalah lagi. Begitu seterusnya, hingga ludeslah hartanya. Prajuritnya pun turut dipertaruhkan, dan kembali kalah. Kemudian kerajaannya dijadikan taruhan, dan lagi-lagi kalah. Setelah tidak memiliki apa-apa untuk dipertaruhkan, giliran adik-adiknya dipertaruhkan, dan kembali mendapat kekalahan.
Akhirnya, semua jadi milik Duryodana karena kalah di dalam permain dadu yang dibalut oleh kelicikan Sangkuni. Dengan kekalahan itu, Duryodana berhasil rebut Kerajaan Amarta beserta istana Indraprasta, sekaligus permalukan para Pandawa beserta istri bersamanya (Drupadi, Draupadi, alias Sailindri). Adapun kunci kecurangan dari Sangkuni terletak pada balok-balok dadu yang digunakan, yang berasal dari tulang ayahnya sendiri (Prabu Suwala). Untuk itu, terlebih dahulu Patih Sangkuni mengadakan ritus memanggil roh ayahnya agar masuk dan bersatu ke dalam balok-balok dadu yang dijadikan perangkat judi taruh tersebut.
C. Siasat Licik demi Mendapat Kemenangan
Permainan dadu tersebut disaksikan para sesepuh Kerajaan Hastina, seperti : Riswara Bisma, Prabu Dretarastra, Adipati Yamawidura dan Resi Krepa. Para Pandawa serta Drupadi musti dipermalukan di hadapan mereka. Para pihak lain, penasihat agung Pandawa, yakni Kresna dibuat agar jangan sampai menghalangi permainan dadu itu dengan mengalihkan perhatian Kresna kepada hal lain. Suatu praktik kecurangan yang bisa dibilang masif, terencana dan terstruktur yang diotaki oleh Sangkuni untuk mendapatkan kemenangan.
Dalam perjudian, kelicikan atau kecurangan acap “dihalalkan” demi mendapatkan kemenangan. Yang penting menang. Curang tidak mengapa. Yudistira yang berjudi secara sportif (jujur, sucing) musti menelan pil pahit yang berupa kecikan lawan, dan kalah total. Kisah ini adalah kisah dari masa yang amat lampau. Salah satu kisah yang menjadi lakon dalam pertunjukan wayang, dengan judul “Pendowo Dadu”. Pementasan wayang sebagai “tuntunan” — bukannya sekedar “tontonan” — mengintroyeksikan pesan lewat lakon ini bahwa permainan tak senantiasa stiril dari kecurangan. Nafsu untuk dapatkan kemenangan atau kekuasaan, dapat membutakan mata hati untuk menghalalkan segala cara.
D. Adegan “Pendawa Dadu” di Relief “Parthayajna” Candi Jago
Kisah “Pendawa Dadu” kedapatan jejak arkeoligisnya pada relief cerita “Parthayajna” di teras II Candi Jajaghu (Jago) di era keemasan Majapahit (medio abad XIV Masehi). Panil relief berbangun empat persegi panjang berukuran besar ini menampilkan bangunan besar beratapkan limasan lawakan yang disangga enam tiang dengan lantai lebih tinggi dari permukaan tanah sekitar. Bangunan berukuran cukup besar demikian, pada masa lampau dinamai “bale”. Dibawah atap pada permukaan lantai terlihat adanya dua pasang lelaki dengan posisi berhadapan tengah bermain dadu. Posisi kanan adalah pihak Pandawa, yang terdiri atas Yudistira dan Arjuna dalam posisi duduk, diikuti dengan Bhima. Sakula dan Sahadewa dalam posisi berdiri berderet di samping bale. Sedangkan pada posisi kiri tampil Droyudhana dan Sangkuni dalam posisi duduk, diikuti oleh anggota keluarga Kurawa dalam posisi berdiri berderet disamping bale. Judi dadu tak hanya dilakukan oleh para ksatria Pandawa VS Kurawa, namun Punakawan dari keduanya pun terlibat judi dadu dengan lebih seru. Merek duduk dipermukaan tanah yang lebih rendah dari lantai bale.
Oleh karena permainan dadu ini dilakukan di suatu bale, maka adegan “Pandawa Dadu” atau “Pendowo Main Dadu” ini acap juga diberikan judul lakon “Bale Segalagala”. Adegan ini merupakan “pembuka” dari cerita “Parthayajna”, yang dipahatkan di panil pertama dari deretan panil relief “Parthayajna” di keliling teras kedua Candi Jago. Suatu relief cerita arkais, yang bersumber dari wiracarita Mahabharatta, yang hanya kedapatan di Candi Jago. Kisah ini menjadi pendahulu dari kisah “Arjunawuwaha”, yang dipahatkan di teras III Candi Jago. Oleh karena itu, relief cerita Parthayajna beserta adegan kisah Pandawa Dadu dan adegan “Penelanjangan Dewi Draupadi (Sailindri)” merupakan kelebihan dari Candi Jajaghu dalam hal kelangkaan relief cerita yang terdapat padanya jika dibanding candi-candi lainnya dari Masa Hindu-Buddha.
E. Refleksi dan Introspeksi
Apakah kisah dalam Sabhaparwa yang dipaparkan diatas juga terjadi dalam kehidupan kita di waktu kini? Silahkan mencermati dengan seksama apa yang telah, tengah dan bakal berlangsung di lingkungan sekitar kita, di negeri kita. Kendati kisah “Pandawa Dadu” dalam Sabhaparwa adalah kisah masa lalu, ribuan tahun Sebelum Masehi (SM), namun bukan tidak mungkin hal serupa bisa terjadi pada masa-masa yang lebih kemudian, tak terkecuali di masa sekarang dan mendatang. Perihal perjudian, yang menjadi lokus kisah tertelaah ini misalnya, apapun bentuk judi tersebut, senantiasa ada pada setiap lapis masa, termasuk juga di masa sekarang.
Terkait dengan perjudian, sebagai pamungkas kalam, saya (penulis) sampaikan bahwa ‘serapi-rapi kecurangan itu ditutupi, bila dicermati bakal kelihatam juga. Acapkali dibalik kemenangan dalam suatu perjudian, ada niat licik, ada praktik curang, ada ambisi untuk menang dengan menghalalkan segala cara”. Saya pun jadi teringat pepatah Jawa “becik ketitik, olo ketoro”. Semoga tulisan ringkas dan bersahaja ini memberi kefaedahan bagi para pembaca budiman, bagi para bijak. Nuwun.
Sangkaling, Griyajar CITRALEKHA, 20 Feb 2024