HomeOutlookEducation & IssuesMakna Ritus “Megengan”: Momentum Pembuka Prosesi Ibadah Puasa Ramadhan

Makna Ritus “Megengan”: Momentum Pembuka Prosesi Ibadah Puasa Ramadhan

MTC MEDIAΒ – Malang. “Ngabuburit Budaya Siyam 2”. Makna Ritus “Megengan”: Momentum Pembuka Prosesi Ibadah Puasa Ramadhan.

A. Arti Istilah Jawa “Megengan”

Dalam kamus “Bahasa Jawa – Indonesia” terbitan Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (Copyright tahun 2024), istilah “megeng” atau “pegeng” memiliki dua arti, yaitu : (1) menahan napas, dan (2) menyarak. Adapun kata “menyarak (kata dasar “sarak)” dalam bahasa Indonesia mengandung arti : (2) menceraikan, memisahkan; dan (2) menyapih (KBBI, 2002).

Kata dasar “megeng” yang mendapat akhiran “-an” menjadi “megengan” acap diartikan dengan: menahan. Arti inilah yang banyak dijadikan dasar untuk memaknai tradisi Jawa jelang memasuki bulan suci atau bulan ibadah Ramadhan. Arti istilah “megeng”, yakni menahan diri, menjadi pengingat bahwa dalam menjalankan ibadah puasa Romadhan, yang bersangkutan wajib “megeng (menahan)” hawa nafsunya.

Megengan dalam arti: menahan (kata yang bersinonim : ngempet) dihubungkan dengan peringatan bahwa dalam waktu dekat akan memasuki bulan Puasa Ramadhan, dimana pelaku ibadah puasa musti menahan untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menggugurkan atau membatalkan ibadah puasa wajibnya.

Hal-hal yang dalam keseharian pada waktu lain boleh dilakukan, seperti makan dan minum di siang hari, memasukkan obat ataupun benda melalui dua jalan (mulut dan dubur), berhubungan badan dengan lawan jenis, merokok, muntah secara sengaja, keluarnya air mani secara sengaja, haid dan nifas, gangguan jiwa atau kegilaan, ketika tengah menjalankan ibadah puasa musti dihindarkan, disapihkan, atau disarakkan.

Acara Nyadran di Jawa Tengah. Foto: menpan.go.id

Ada yang menyamakan tradisi Megengan dengan “Sadranan” dan “Ruwahan”. Berbeda istilah namun menunjuk pada peristiwa yang sama. Sebenarnya, apabila ditilik dari arti istilahnya, ketiga sebutan itu memiliki perbedaan arti. Kata “sadranan” lebih berkenaan dengan ziarah kubur, yang menjadi tradisi Jawa serta daerah-daerah lain di Nusantara jelang memasuki bulan Ramadhan dan 1 Syawal.

Adapun “megengan” berarti: menahan diri dari hal-hal yang dapat membatalkan ibadah puasanya. Sementara, sebutan “ruwahan” menunjuk pada bulan, tepatnya di penghujung atau minggu terakhir bulan Ruwah (Sya’ban), yang terletak diantara dua bulan mulia, yaitu (a) Rajab dan (b) Ramadan. Selain megengan, di bulan Sya’ban ada ritus lain yang disebut “Nisfu Syaban”, yang tiba pada 15 hari sebelum memasuki Ramadhan. Malam Nisfu Sya’ban diyakini oleh umat muslim sebagai malam dimana Allah SWT meng- ampuni dosa-dosa hamba-Nya.

B. Ragam Bentuk Kegiatan Ritual Megengan

Ada beberapa aktifitas ritual kala Megengan tiba, utamanya : (1) ziarah kubur, dan (2) selamatan (kenduri). Selain itu, dalam beberapa dasawarsa terakhir dilakukan juga (3) ritus bersuci dengan media bersuci berupa air. Misal, tradisi padusan yang diadakan di Umbul Mlaten Kabupaten Klaten. Tradisi mandi juga diselenggarakan di Aceh, dalam bentuk mandi di laut.

Serunya tradisi padusan di Jepara. Foto: penelitianpariwisata.id

Aktifitas lain yang berkenaan dengan air adalah gogoh (menangkap ikan), seperti dilakukan Majalengka jelang memasuki Ramadhan. Ritus mandi yang serupa juga diinisiasi oleh Majlis Penyimbang Adat Lampung (MPAL) di Pesawaran, dengan mempergelar “Festival Budaya Bulimau” atau “Bulangekh”, yakni mandi di sungai dengan menggunakan jeruk (limau) dan atau minyak wangi, telor, kembang warna warni untuk membersihkan hati, pikiran, dan tubuh (diri). Tradisi mandi serupa ini menurut adat Sunda diselenggarakan di Cianjur, yang dinamai dengan “Kuramasan”.

Media untuk bebersih diri bisa juga berupa rempah-rempah, seperti “titepung beras (ada baiknya berupa tepung beras ketan), humopoto (kencur), bungale (bangle), dan alawahu (kunyit) sebagai masker wajah. Tradisi yang oleh warga Gorontalo disebut ‘Mohibadaa” ini dilakukan jelang Ramadhan. Selain wajah, rambut juga dibersihkan dengan keramas menggunakan berbagai daun wangi. Tradisi ini di- sebut dengan “Bacoho”, sebagai suatu ikhtiar untuk membersihkan raga dalam menyambut Ramadhan. Yang dibersihkan dan diberi aroma adalah juga perangkat ibadah.

Pada tradisi yang dinamai dengan “Langgilo atau Tonggeyamo Langgilo” ini, perangkat shalat direndam ke dalam air hangat yang diberi rempah-rempah. Bahan pembuatan langgilo adalah jeruk, kelapa parut, daun pandan, daun kunyit, nilam dan sereh wangi, yang drebus hingga mengeluarkan aroma khas.

Menyambut bulan puasa dengan Festival Dugderan di Semarang. Foto: jatengprov.go.id

Ada pula yang semarakkan waktu jelang tiba bulan Ramadhan dengan menggelar semacam festival. Misalnya, “Festival Dugderan” selama sepekan di Semarang. Sebutan “Dugderan” berkenaan dengan bunyi “dug (bunyi bedug)” dan “der (bunyi petasan)”, yakni bebunyian khas pada bulan Ramadhan hingga Idul Fitri. Legenda lokal menarasikan festival ini sebagai telah dilangsungkan sejak tahun 1882, di era kepemimpinan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat.

Biasanya, festival ini dimulai dengan menggelar pasar di seputar Alun-alun Masjid Agung Semarang hingga di depan pendopo Kanjengan. Selain itu ditampilkan “Warak Ngendog”, yang berupa binatang mitologis sebagai simbol pemersatu tiga etnis mayoritas di Semarang, yaitu (a) naga (Cina), (b) buraq (Arab) dan (c) Kambing (Jawa). Produk kriya berbahan tera kota sebagai mainan anak juga anak dibuat dari tanah liat (gerabah) senantiasa tersaji pada setiap festival Dugderan.

Ada pula arak-arakan (kirab) dari Balai Kota menuju Masjid Agung Semarang. Penyemarakan jelang Ramadan dengan bebunyian juga dilakukan di daerah Banjar (Kalimantan Selatan) dengan pertunjukan musikal memakai waditra khas Banjar diatas perahu sungai.

Apabila di Semarang digelar festival Dugderan, di kabupaten Kudus dihelat juga selama sepekan Festival Dandangan (dang = bunyi bedung, atau boleh jadi dang-dang = mensegetakan). Legenda setempat menyebut inisiator festival ini adalah Sunan Kudus, yang menghelat sejak tahun 1549 Masehi.

Seakan tidak mau kalah dengan Semarang serta Kudus, daerah tetangga keduanya, yakni Kabupaten Jepara, menggelar “Festival Baratan”, pada setiap tanggal 15 Sya’ban kalender Hijriah atau 15 Ruwah penanggalan Jawa, atau tepat pada malam nishfu Syaban. Kala itu warga Jepara menyalakan obor di depan rumah, serta mengaraknya keliling kampung. Festival cahaya juga dilangsungkan di Banjar Baru, namun dalam bentuk lampion berkaligrafi, yang disebut “Festival Tanglong”. Festival ini bertujuan untuk menyambut malam Lailatul Qadar.

Slametan Kenduri. Foto: menaramadinah.com

Pada ritus Megengan di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta, kuliner khas yang disajikan pada selamatan (kenduri, genduren) adalah kue apem, atau acap juga ditambahi dengan pisang dan nasi (sego) berkat. Hal ini berbeda dengan “Meugang”, atau disebut juga dengan “Makmeugang dan Haghi Mamagang” di Aceh Darussalam, yang hidangkan kuliner daging untuk disantap bersama keluarga, rekan kerja, atau dan warga desa.

Legenda lokal menarasikan sebagai telah berlangsung pada era kerajaan Aceh Darussalam (sekitar abad XIV Masehi). Kenduri bersantap daging juga dilakukan oleh Masyarakat Melayu di Jambi dengan menyembelih kerbau. Daging kerbau diberikan pada warga masyarakat yang ikut iuran, dan sebagian yang lain dimasak untuk konsumsi acara imtihan. Selamatan jelang Ramadhan juga dilakukan oleh masyarat Muslim di Bali, khususnya di Karangasem, dengan makan bersama dalam satu wadah (sela).

Tradisi makan bersama masyarakat Bali semenjak tahun 1692 Masehi. Tradisi yang dinamai “Megibung” ini bertujuan untuk menjaga, menjunjung dan menum- buhkan kebersamaan dan kesetaraan. Sedangkan di Sumatra Barat pada “Festival Malamang” dihidangkan kuliner khas lemang (lamang), yakni beras ketan dimasuk ke ke dalam bambu panjang, disisipi daun pisang, kemudian dibakar. Ada pula “Festival Ruwahan” di Sendang Duwur, situs arkeologi Islam di Pantura daerah Lamongan, dengan ater-ater (berbagi, mengantar) makanan ke tetangga dekat pada bulan Sya’ban (Ruwah) atau ada yang mengundangnya ke rumah untuk bersantap makan. Tentu masih banyak lagi ragam bentuk perhelatan kutural-religis penyambutan Ramadhan, yang tak seluruhnya dibicarakan pada tulisan ini.

C. Makna Ritus Megengan Jelang Ramadhan

Tradisi Megengan sebagai simbol permohonan maaf, baik pada sesama yang masih hidup maupun yang telah meninggal. Tradisi ziarah kubur (disebut “sadranan”), yang dilakukan dalam bentuk pemanjatan doa dan tabur bunga (nyekar) adalah ikhtiar permohon maaf kepada sanak keluarga dan para leluhur yang telah meninggal.

Jajanan apem yang adalah merupakan kuliner khas kenduri Megengan, yang dipendapati sebagai berasal dari bahasa Arab “ngafwan (ngafwun)”, yang berarti: permohonan maaf, mengandung makna permohonan maaf, baik terhadap sesama yang masih hidup maupun terhadap yang telah meninggal. Permohonan maaf tepat bila disampaikan pada bulan Ramadhan, mengingat bahwa Ramadhan dikonsepsi sebagai bulan penuh maqfiroh, bulan penuh ampunan, sehingga tepatlah waktu ini dijadikan momentum untuk mengadakan bebersih-bersih diri dari segala dosa di waktu lalu. Dengan fungsi demikian, Megengan dapat menjadi wahana “katarsis”, agar ketika masuk Ramadhan, dia telah dalam kondisi “bersih”.

Tradisi Megengan sekaligus dapat dijadikan sebagai ajang untuk berbagi dan mempererat silaturahmi antar sesama dan saling memaafkan. Silaturohmi yang dilaksanakan lewat tradisi Megengan mempererat hubungan antara anggota keluarga atau komunitas, yang satu sama lain bersatu dan saling mendukung.

Selamatan biasanya dilakukan dari rumah ke rumah atau bisa dengan membawa ambeng (kuliner)-nya ke langgar (surau) atau masjid. Pembuatan lantas pembagian kuliner Megengan merupakan ekspresi saling berbagi antar sesama. Unsur sebutan “selamat (slamet)” pada peristiwa selamatan Megengan menyiratkan pula pengharapan untuk mempetoleh keselamatan selama menjalani puasa Ramadhan. Selain itu, kenduri Megengan mengekspresi-kan rasa syukur sebab di tahun bersangkutan masih berkesempatan untuk bisa dipertemukan dengan bulan mulia Ramadhan.

Slametan. Foto: antaranews.com

Ekspresi syukur berwujud makanan, yang dibuat dan kemudian dibagikan kepada orang-orang di sekitarnya. Selamatan yang dilakukan ini jadi pengganti atas sesajian (offering) pada ritus Masa Hindu-Buddha. Atau dengan kata lain, menurut kepercayaan Jawa Megengan adalah pengejowantahan syukur atas karunia Tuhan. Doa dalam selamatan Megengan berisi permohon berkah dan rahmah Tuhan. Tradisi Megengan dengan demikan mengajarkan kita akan rasa syukur, kebersamaan maupun saling menghargai antar sesama.

Sebagai suatu aktifitas, sebagai sebuah perhelatan, Megengan dijadikan media dahwah Islamiah. Untuk untuk menyebarkan nilai-nilai keislaman. Tradisi ini memiliki nilai-nilai positif, yangmengajarkan rasa syukur, kebersamaan, dan saling menghargai antar sesama. Oleh karena itu di masa lalu, pada masa Kasultanan Mataram, Megengan dijadikan model penyebaran agama Islam yang tepat guna, yakni “berdakwah secara kultural”. Megengan merupakan produk alkuturasi budaya Jawa dan budaya Islam, yang digunakan untuk menyebarkan ajaran Islam di Jawa, dengan tujuan agar Islam dapat diterima oleh warga masyarakat.

D. Konservasi dan Fungsionalisasi Tradisi Megengan

Kendatipun pada saat ini terdapat perubahan dalam hal makanan yang disajikan ketika berlangsung sepakatan Megengan, namun esensinya tetap sama. Tradisi Megengan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa selama bertahun-tahun bahkan berabat-abad. Demi eksistensinya dalam lintas masa, Megengan musti dilestarikan dan diwariskan kepada generasi selanjutnya sebagai peristiwa kultural religis periodik (tahunan).

Ada pesan-pesan moral yang amat mendasar pada tradisi Megengan, utamanya mengenai urgensi menahan nafsu. Selain itu. tradisi Megengan memiliki nilai-nilai positif yang mengajarkan rasa syukur, kebersamaan, dan saling menghargai antar sesama.

Sebagai warisan budaya (cultural heritage) berupa tradisi Megengan, yang memiliki kandungan pesan moral dan nilai-nilai positif, musti dilestarikan. Demikianlah tulisan yang bersahaja ini, sebagai bacaan disela menjalani ibadah puasa Ramadhan. Semoga memberi kefaedahan. Nuwun.

Sangkaling, Griyajar CITRALEKHA, 12-3-2024

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like