HomeOutlookEducation & IssuesPaket “Poso Mbedhug” dan “Poso Tutup Kendang”: Ajar Ibadah Saum Sedari Usia Dini

Paket “Poso Mbedhug” dan “Poso Tutup Kendang”: Ajar Ibadah Saum Sedari Usia Dini

MTC MEDIAΒ – Malang. “Ngabuburit Budaya Siyam 1”. Paket “Poso Mbedhug” dan “Poso Tutup Kendang”: Ajar Ibadah Saum Sedari Usia Dini

A. Poso Mbedug, Ajar Puasa

Sebutan “mbedhug” dalam bahasa Jawa menunjuk kepada waditra bedhug, yang konon lazim ditabuh jelang masuk waktu ibadah sholat lima waktu (subuh, lohor, ashar, magrib, dan isya’). Kata gabung “wektu bedhug” secara lebih khusus acap dipakai untuk menyebut tibanya waktu sholat Lohor pada tengah hari. Kala itu bertepatan dengan tiba waktu makan siang — tanpa tambahan kata “gratis”, yang dirasakan sebagai puncak rasa lapar bagi orang normal. Namun, ketika bulan puasa (poso, siyam, saum) Ramadhan, waktu lohor masih belum tiba waktu untuk makan (berbuka puasa), sebab masih butuh waktu sekitar lima jam lagi untuk memasuki waktu bedug Magrib, yakni wektu jangkep (lengkap) untuk berbuka puasa.

Apabila kata “Mbedhug” dirangkaikan dengan kata “poso”, kata gabung ini memiliki arti: durasi waktu puasa yang kurang jangkep, yakni hanya separuh waktu berpuasa, karena membatalkan puasa pada waktu Lohor. Sebutan ini lazim diberikan untuk puasa yang dijalankan anak-anak, yang belum cukup kuat untuk menjalani puasa hingga datang bedhug Magrib. Dengan kata lain, poso mbehug adalah “poso blajaran (ajar poso)”, yaitu belajar berpuasa buat anak-anak yang belum akil balek, yang belum wajib untuk menunaikan ibadah puasa. Sebutan lain untuk puasa yang demikian adalah “poso elok-elok bawang (ikut-ikutan berpuasa)”.

Kendatipun poso mbedhug bukanlah puasa yang sesungguhnya, hanya separuh waktu berpuasa, namun di dalam konteks belajar atau berlatih ibadah bagi anak- anak, perihal ini memiliki “nilai positif”. Suatu ikhtiar untuk memperkenalkan, mencobakan, melatih serta membiasakan anak-anak sedari usia dini untuk beribadah, termasuk juga ibadah saum. Bagi anak, tidak makan-minum seharian adalah hal yang berat, yang belum kuasa untuk dilakukannya. Oleh karena itu, durasi waktu puasa untuknya diberi kelonggaran hingga sejauh ia mampu menahan rasa lapar-haus. Kalaupun mampunya hanya sampai waktu lohor, maka puasa yang memungkinkan untuk dijalankannya adalah puasa mbedhug, hingga tiba waktu bedhug lohor. Saat itu dipersilakan untuk berbuka puasa di tengah hari. Poso mbedhug boleh dilakukan setiap hari, atau bisa tidak setiap hari.

B. Poso Tutup Kendang, Sekedar Ikut Puasa

Ada pula jenis puasa yang lebih ringan daripada poso mbedhug, yang disebuti “poso tutup kendhang”. Sebutan “kendang” menunjuk kepada waditra jenis membraphone, yakni alat musik yang sumber bunyinya berupa selaput getar (membran) yang dipasang di satu atau di kedua sisi resonator. Pada konteks sebutan ini, kendang digambarkan sebagai memiliki membran yang dipasang di sisi kiri dan sisi kanan resonator, seolah memiliki bidang pembuka di satu sisi dan bidang penutup di sisi lainnya.

Kata gabung “poso tutup Kedang” menunjuk pada berpuasa yang dilakukan pada hari pertama (hari pembuka) dan hari terakhir (hari penutup) selama bulan puasa Ramadhan. Pelaku puasa hanya melakukan 2 kali diantara 30 atau 29 kali puasa selama beribadah puasa di bulan saum Ramadhan. Puasa demikian adalah “sekedar ikutan berpuasa”. Kendatipun tidak sepenuh bulan berpuasa pada bulan saum Ramadhan, paling tidak telah turut berpuasa, yaitu di awal dan akhir hari-hari puasa di bulan suci Ramadhan. Poso tutup Kendang boleh dibilang “lumayan baik” daripada tidak berpuasa sama sekali di bulan Ramadhan.

Pada puasa tutup Kendang ini, durasi waktu berpuasa adalah sehari penuh dan dengan memenuhi ketentuan-ketentuan selama berpuasa. Meski hanya dua kali berpuasa, namun puasa yang dijalaninya tergolong “poso jangkep wektu (puasa lengkap waktu). Kaum muslim dengan alasan kerja berat, yang tidak kuat untuk bekerja dalam kondisi berpuasa, beralibi untuk tidak menjalan hari-hari puasa secara utuh selama satu bulan pada bulan Ramadhan. Namun demikian, ia tidak menolak berpuasa, tetap turut berpuasa, meski hanya dua kali (permulaan dan penguhujung) puasa di bulan Ramadhan. Ada juga menjadikan puasa tutup kendang ini sebagai ‘pensiasatan” kewajiban (fardlu)” puasa wajib di bulan Ramadan yang selengkapnya berlangsung selama sebulan penuh. Walaupun cuma dua kali berpuasa, namun merasa telah menunaikan kewajiban ibadah puasa. Atau dengan kata lain, cuma untuk “menggugurkan kuwajiban (nggugurake kewajiban)”.

Ada pula kombinasi antara poso mbedug dan poso tutup kendang, yaitu cukup berpuasa pada awal dan akhir prosesi puasa Ramadhan, dan itupun cuma berpuasa hingga bedhug lohor. Yang penting, turut “ngicipi” puasa. Puasa jenis ini acap pula dilakukan oleh anak-anak. Masih ada lagi jenis puasa lainnya, yang dinamai dengan “poso sapi”. Apakah itu “poso sapi”? Suatu sanepan, yang kepanjangan kalimat- nya adalah: bubar mangan “diusapi (jika usai makan bibir harap diusapi, biar tak terlihat bila habis makan di bulan puasa)”. Puasa jenis terakhir ini adalah “pura-pura puasa”.

Menunggu waktu berbuka. Foto: MTCMedia/Dwi Cahyono

C. Puasa Ramadhan dalam Konteks Sosio-Kultura Jawa

Sebagai rukun Islam ke-3 setelah mengucap dua kalimat syahadat dan menunaikan ibadah sholat, puasa Ramadhan dijalani oleh warga masyarakat beragama Islam di seluruh dunia. Namun dalam detail penerapannya, puasa Ramadan di berbagai negara, pada beragam kelompok sosial dan di antara berbagai pemangku budaya bisa jadi memiliki perbedaan yang bersifat adaptif. Pada sosio-kultura di Jawa, puasa Ramadhan memperoleh adaptasi sosio- kultura lokal Jawa dari waktu ke waktu, dari suatu tempat (lokalitas) ke tempat lain, sehingga membentuk “tradisi puasa (poso, siyam)” yang khas Jawa.

Unsur sebutan “mbedug, “tutup kendang, dan sapi” di dalam perkataan “poso mbedug, poso tutup kendang dan poso sapi ” adalah istilah dalam bahasa Jawa, yang menjadi petunjuk bahwa jenis-jenis puasa ini khas Jawa. Sebuah tradisi puasa Ramadhan dalam sosio-kultura Jawa pada masa lampau, yang jejaknya [meski terbatas] masih kedapatan hingga kini. Diluar sosio-kultura Jawa, puasa demikian ini belum tentu ada. Pada sebutan-sebutan itu tergambar bahwa puasa sebagai ibadah wajib dimaknai dan sikapi bermacam-macam. Terlepas dari apa bentuknya, paling tidak dibalik ragam bentuk puasa itu ada aspek pembelajaran, pengenalan serta pelatihan berpuasa sedari usia dini, maupu kesertaan terbata dan penghormatan terhadap pelaku ibadah puasa Ramadhan.

Semoga tulisan bersahaja, yang disurat dengan cair ini memberi kefaedahan. Selamat berpuasa bagi yang menjalaninya. Nuwun.

Sangkaling, Griyajar CITRALEKHA, 9-3-2024

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like