HomeOutlookEducation & IssuesCELENGAN, WADAH TABUNGAN TERAKOTA

CELENGAN, WADAH TABUNGAN TERAKOTA

MTC MEDIAMalang. Dalam Bahasa Jawa, menabung diistilahi dengan “nyelengi”. Adapun tempat (wadah) tabungan disebut dengan “celengan”. Pada kedua kata jadian itu tergambar kata dasar “celeng”, yang menunjuk pada hewan yang berwujud : babi hutan. Memang, tidak sedikit wadah tabungan lawasan (lama), yang konon dibuat dari bahan tanah liat bakar (terakota, gerabah) memperlihatkan figur binatang yang berwujud babi, tepatnya babi hutan (celeng).

Sentra Kriya Gerabah Malo. Foto: wisataedukasigerabahmalo.com

Pada punggungnya terdapat garis berlubang, yang dipergunakan untuk memasukkan uang logam (conin) atau lipatan uang kertas. Selain figur celeng, ada pula figur-figur lain, seperti ayam, anjing, buah labu, punakawan Semar, dsb. Salah satu produsen celengan terakota yang populer di Jawa adalah celengan produksi sentra kriya gerabah Malo (Bujonegoro) di DAS Bengawan Solo dan Mayong (Jepara), sehingga terdapat sebutan “gerabah atau celengan Malo)”. Persebaran gerabah Malo dan Mayong hinggal jauh di luar daerah, khususnya ketika berlangsung perhekatan akbar di daerah-daerah.

Babi adalah hewan bertubuh subur (gemuk), sehingga binatang ini acap dijadikan simbol kesuburan dan kekayaan. Sebagai binatang ternak, kekayaan peternak tergambar pada seberapa banyak babi yang dibudidayakan (diternakkan). Orang yang bertubuh gemuk acap diberi unsur sebutan “babi”, misalnya pak Waras yang bertubuh gendut disebuti dengan “Waras Babi”. Demikian erat relasi antara babi dengan kekayaan finansial (uang atau harta bebda), sampai-sampai binatang mitologis di dalam kepercayaan “pesugihan”, yakni cara mendapat kekayaan dengan mencuri uang secara gaib dinamai “babi ngepet”.

Celengan Babi dari terakota. Foto: Dwi Cahyono

Aneka bentuk wadah tabungan dari Terakota, utamanya yang berwujud babi hutan (celeng), kedapatan banyak ditemukan pada kawasan arkeologis Trowulan di Kabupaten Mojokerto. Kota ini konon menjadi ibukota kerajaan (kadatwan) Majapahit (awal abad XIV hingga medio abad XV Masehi), yang bernama “Wilwatikta”. Peninggalan terakota kuno itu acapkali disebut “gerabah Majapahit”. Bukti artefaktual tersebut memberi petunjuk bahwa penduduk pada lingkungan dalam keraton (wargga/margga i jro) Majapahit telah mempunyai tradisi menabung. Hal itu dilakukan dengan memasukan uang receh logam (disebut “duwit bolong” atau “duwit gobog”, yakni Chinese coin)” ke dalam wadah terakota lewat garis berlubang.

Tampang atas celengan babi dari terakota. Foto: Dwi Cahyono

Demikianlah, paling tidak akar tradisi menabung di Nusantara telah kedapatan pada era Majapahit. Fakta ini menggugurkan anggapan sebelumnya bahwa tradisi menabung adalah pengaruh budaya Eropa, yang baru masuk ke Nusantara di Masa Kolonial melalui institusi keuangan berupa bank. Kebiasaan menabung dengan memakai wadah tabungan sederhana berbahan terakota, atau bahan lainnya seperti ruas batang bambu, buah labu, kaleng bekas, dsb. terus berkelanjut, bukan hanya di kalangan warga kelas menengah ke atas perkotaan, namun terkecuali pada kalangan menengah ke bawah warga pedesaan.

Tabungan bersahaja terpapar diatas adalah wahana “pendidikan dan pembiasaan menabung” di lingkungan keluarga, yang diajarkan atau dibiasakan kepada anak sedari usia dini. Menabung tak usah kemana-mana, tak perlu jauh-jauh ke kantor bank, namun cukup untuk bisa dilakukan di rumah sendiri. Prinsip hidup “hemat pangkal kaya” maupun mutiara kata “sedikit demi sedikit lama-lsma menjadi bukit” dapat diterapkan dengan menyisihkan sebagian uang yang dimiliki dengan memasukkan ke dalam celengan. Selamat menabung. Nuwun.

Griyajar CITRALEKHA, 13 Mei 2024

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like