MTC MEDIA – Malang. Dalam kiasan Jawa ada sebutan “nggak semi”, yakni semaian yang tumbuh dari tunggak pohon yang dipotong. Dalam kiasan ini terjadi perulangan (repetisi) pada waktu berlainan oleh tokoh yang berbeda. Yang diulangkan adalah hal yang sama ataupun serupa. Fenomena “nunggak semi” bisa terjadi kapan pun, di masa sekarang atau pada masa lampau. Berikut salah satu contoh fenomenal itu.
Raden Wijaya (abhisekanamanya adalah “Kertarajasajayawardhana”), yakni pendiri kerajaan (founding father) Majapahit, ketika mangkat arwahnya diarcakan sebagai Hari- Hara, dan didharmmakan di Candi Simping berlokasi di Kabupaten Blitar (kini menjadi benda koleksi Museum Nasional Jakarta). Hari- Hara adalah Dewa Siwa (Hara) dan Wisnu (Hari) yang dipersonifikasikan sebagai “bersatu tubuh”.
Arca Hari- Hara dengan demikian adalah sebuah arca yang mengintegrasikan dua Dewa, sehingga ciri khusus (laksana) kedua dewata itu hadir bersamaan. Laksana Dewa Siwa berupa kebut lalat (aksamala) berada di tangan bekalang, adapun laksana dewa Wisnu berupa sangka (terompet cangkang kerang) berada di tangan belakangan dan gada di tangan depan;. Sebutan lain untuk Hari-Hara adalah Shankaranarayana (Shankara = Siwa, dan Narayana = Wisnu), Hari- hara sangat dihormati baik oleh para penganut Vaishnawa ataupun Siwais sebagai Dewata yang maha kuasa (istadewata).
Ternyata, bukan hanya sriraja Raden Wijaya (pendiri kerajaan Majapahit) yang diarcakan sebagai Hari-Hara, sriraja Ken Angrok (abhisekanama “Sri Ranggah Rajasa sang Amurwa-Bhumi) pendiri kerajaan Singhasari (Tumapel) juga duarcakan sebagai Hari-Hara dan didharmakan di candi Kagenengan pada Gunung Katu di Kabupeten Malang. Kedua tokoh ini sama-sama pendiri kerajaan. Raden Wijaya adalah pendiri Majapahit, dan Ken Angrok adalah pendiri Tumapel. Selain itu keduanya berkerabat, yakni Raden Wijaya adalah keturunan jauh dari Ken Angrok.
Selaras dengan itu, istri Ken Angrok, yakni Ken Dedes, diarcakan sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan Tertinggi (Prajnaparamita) dan didharmakan di Candi Putri yang konon berlokasi di Desa Pagentan Kec. Singosari Kab. Malang. Begitu pula, istri dari Raden Wijaya, yaitu Gayatri, juga di- arcakan sebagai Prajnaparamita dan didharmakan pada Candi Boyolangu Kab. Tulungagung. Keduanya adalah penganut Mahayana Buddhisme.
Seolah sejarah “berulang”, atau terjadi pola melingkar (circle) dalam contoh kasus kesejarahan Jawa ini. Atau dengan perkataan lain, diri Ken Angrok “nunggak semi” pada Raden Wijaya, yang nota bene adalah keturunan jauhnya. Keduanya adalah sama-sama sebagai “founding father“, yakni Angrok pendiri kerajaan Tumapel dan Wijaya pendiri kerajaan Majapahit. Nuwun.
Griyajar CITRALEKHA. 4 Mei 2024