MTC MEDIA – Malang. Tulisan bersambung menyambut Hari Jadi “Pemerintahan Kota Malang” ke-110. Berbicara mengenai sejarah rekonstruksi perkotaan Malang. “HASTAKUTHA” MALANG: Rekonstruksi Sejarah Perkotaan di Timur Gunung Kawi Lintas Masa.
Bagian Empat: Berkenaan dengan fase perkembangan kota pada era kelima hingga fase Kotapraja
Era ke-6 Kuto Katmenggungan Malang (Abad XVIII)
Areal pusat kota pada era ke-6, yaitu Kuto Katmenggungan Malang mulai bergeser dari sub-area timur menuju ke sub-area tengah wilayah Kota Malang, yakni pada seberang barat DAS Brantas dan Bango. Bila menilik toponimi “Kampung Temenggungan” di Kelurahan Jodipan, padamana terdapat makam dari “Mbah Menggung”, tergambarlah bahwa ketika berlangsung perubahan dalam sistem pemerintahan dari Kadipaten Malang menjadi Katimenggungan Malang pada abad XVIII, pusat Katimenggungan Malang ditempatkan di daerah Jodipan, yang konon merupakan areal “desa kuno” Malang — dalam Prasasti Ukirnegara (Pamotoh, tahun 1198 Masehi) disebut adanya desa kuno yang bernama “Malang” di tepian hutan yang banyak hewan buruannya.
Kuto Katimenggungan Malang, yang adalah era ke-6 perkotaan di wilayah Kota Malang ini ditempatkan di desa kuno Malang. Katkala VOC yang didukung oleh prajurit Mataram menduduki Malang pada tahun 1767, yang kala itu menjadi penguasa di area Malang adalah Tumenggung Meloyokysumo. Sudah barang tentu, Katumenggungan Malang mempunyai “Alon-alon Katumenggungan, yang berada di sisi timur jalan poros” Boldy (kini Jl. Gatot Subroto, pada eks ‘”Pecinan Besar”). Pada sisi selatan dari Alon-alon Katumenggungan terdapat “pasar besar” Katumenggungan Malang (kini “Pasar Kebalen) dan tempat peribadatan (klenteng) An Eng Kiong pada sudut selatan-tumur Perempatan Boldy. Bisa jadi, dulu pendopo Katumenggungan Malang berapa di sisi utara Alon-alon (kini di timur Apotek Boldy).
Ketika dibangun Rel Kereta Api (KA) yang menghubungkan Stasiun KA Kota Lama, Stasiun KA Kota Baru hingga Stasiun KA Pasuruan dan Surabaya pada tahun 1875, lintasan rel KA ini membelah areal Alun-Alun Katumenggungan Malang. Ketika itu, era Pemerintahan Katumenggungan Malang telah berakhir, berganti dengan pemerintahan Kabupaten (Regent Malang), dengan pusat kotanya digeser lagi sedikit ke arah barat-utara. Demikianlah, pusat kota era ke-6 telah mulai memasuki sub-area tengah wilayah Kota Malang.
Era ke-7 Kuto Kaboepaten Malang (abad XIX).
Kabupaten Malang — konon dituliskan dengan “Kaboepaten Malang’, atau “Regent Malang” di dalam bahasa Belanda — adalah suatu pemerintahan sebagai pengganti Katumenggungan Malang. Bupati yang pertama di Kaboepaten Malang adalah R.T. Notodiningrat, yang mengawali pemerintahannya pada tahun 1819 hingga bulan November 1839. Tahun 1819 adalah awal penerapan sistem pemerintahan yang berbentuk “kabupaten” di Malang, sekaligus awal keberadaan Kutho Kaboepaten Malang. Petanda dari pusat kota Malang adalah alon-alon Malang, yang boleh jadi mukanya berada di hadapan (selatan) pendopo Kabupaten Malang. Bila letak pendopo kabupaten ada disisinutara alon-alon, maka Pasar Pecinan (kini “Pasar Besar” Malang) berada pada sisi selatan alon-alon. Inilah alon-alon pertama dari Kabupaten Malang, sebelum kemudian (tahun 1882) dibuatlah alon-alon kedua dengan sedikit menggesernya ke arah utara-barat (kini dinamai “Alon-alon Mereka”, atau ” Alon- alon Kotak”) sebagai “sentra” Pemerintahan Kabupaten Malang.
Tergambarlah bahwa, mulai memasuki era Katumenggungan Malang, lalu era Kabaren Malang dan nantinya disusul era Kotapraja Malang (semenjak tahun 1914), lokasi sentra pemerintahnya berseser dari sub-area timur Kota Malang menuju ke sub-area tengah. Alon-alon Kotak di awal pembangunannya diposisikan sebagai “Sentarum (titik tengah)” Kabupaten Malang. Oleh karena itu, tugu petanda “O Km” tempat berada di sisi utara Alon-alon Kotak. Begitu pula, ketika planolog Thomas Karsten merancang mengembangan Kota Praja Malang di awal abad XX dengan model penataan “berjejala (grid system)”, Alon-alon Kotak ditempatkan sebagai “titik tengahnya” dari jejala itu. Hingga kini, kendati Alon-alon Kothak lokasinya berada dalam wilayah Kota Malang dan pusat Pemerintahan Kabupaten Malang direlokasi ke Kepanjen, namun kesan kuat bahwa Alon-alon Kothak sebagai “sentra” tetaplah dirasakan adanya.
Era ke-8 Kutho Kotapraja Malang (sejak tahun 1914)
Tahun 1914 menandai era baru pada pemerintahan Regent (Kaboepaten Malang), dengan adanya pemekaran pemerintahnya menjadi dua, yaitu : (1) Kaboepaten Malang, dan (2) Kota Praja (Gemeente) Malang. Keduanya berada dalam wilayah Karesidenan Pasoeroan. Landasan hukum bagi berdirinya Gemeente Malang adalah keputusan yang keluarkan oleh Instellings-Ordonnantie pada tahun 1914 berupa Staatsblad Nomir 297 tertanggal 25 Maret 1914, yang diberlakukan seminggu sesudahnya (1 April 1914), yang menetapkan perubahan satu diantara delapan kawedanan, yaitu Karanglo, Pakis, Gondanglegi, Penanggungan, Sengoro Antang, Turen, dan Kota) dalam pemerintahan Regent Malang, yaitu Kawedanan Kotta, menjadi “Gemeente Malang”. Menjabat Wali Kota (Burgemeester) pertama adalah F.L. Broekveldt (1914-1918), yang merangkap jabatan sebagai Asisten Residen dari Pasoeroen di Malang. Wali Kota Malang ke-2 adalah J.J. Coert, yang hanya menjabat setahun (1918-1919), yang juga rangkap jabatan sebagai Asusten Residen Pasoeroean di Malang. Barulah pada 1919 Gemeente Malang mempunyai Burgemeester yang tidak dirangkap jabatan okeh Asisten Residen, yaitu H I Bussemaker, memerintah selama 10 tahun (periode I tahun 1919-1924 dan periode II tahun 1924- 1929).
Meskipun Pemerintahan Gemeente terbentuk sejak 1914 dan pejabat Burgemeester telah ditunjuk, namun uniknya hingga tahun 1926, Gemeente Malang masih belum mempunyai kantor balai kota yang permanen. Balai Kota (Stad Gemeente) Malang barulah teradakan seiring pemekaran Kota Praja Malang pada rencana pengembangan kota (bouw plan) tahap II yang dirancang oleh Th. Karsten di areal (buurt) dengan sebutan “Guvernoer Generaal Buurt (disingkat “GG Buurt”), yang padahal rencana pengembangnya telah ditepikan sejak 26 April 1920 namun barulah dikerjakan pada tahun 1922. Titik senrum dari GG Buurt ini adalah tanah lapang yang yang kemudian dijadikan taman kota (plein) dengan nama “Jan Pieterszoon Coen”, suatu nama yang dipinjam dari nama Gubjen VOC pertama (tahun 1619-1623 dan 1627-1629). JP Coen Plein itu berbangun bundar (bahasa Jawa “bunder“), sehingga tanah lapang yang dijadikan tanah kota berbangun bundar itu oleh warga Kota Malang dinamai dengan “Alon-alon Bunder”. Gedung Balai Kota ditempatkan di sisi selatan Alon-alon Bunder tersebut.
Terhitung sejak tahun 1920 hingga 1926, di wilayah Kota Malang terbentuk perkotaan ke-18 yang pada tulisan ini dinamai “Kutho” Kota Praja (Gemeente) Malang. Uniknya, jika dilihat dari ketelatakannya, perkotaan yang ke-7 yang berpusat di Alon-alon Kothak dan yang ke-8 yang bepusat di Alon-alon Bunder berdekatan satu sama lain, yang terpisahkan oleh aliran meander Bengawan Brantas yang tepat membelah pusat kota Malang. Dengan adanya dua alon-alon itu, terkesan bahwa di wilayah Kota Malang seakan terdapat *alon-alon kembar (twin alon-alon)” yang meski keduanya beda bentuk (bangun), beda masa pembagunannya, dan beda petuntukkannya sebagai pusat pemerintahan daerah — Alon- alun Kothak adalah pusat Kabupaten Malang, adapun Alon-alon Bunder adalah pusatnya Kota Praja Malang.