HomeOutlookEducation & Issues“HASTAKUTHA” MALANG: Fase Perkembangan Era Ketiga dan Keempat

“HASTAKUTHA” MALANG: Fase Perkembangan Era Ketiga dan Keempat

MTC MEDIA – Malang. Tulisan bersambung menyambut Hari Jadi “Pemerintahan Kota Malang” ke-110. Berbicara mengenai sejarah rekonstruksi perkotaan Malang. “HASTAKUTHA” MALANG: Rekonstruksi Sejarah Perkotaan di Timur Gunung Kawi Lintas Masa. 

Bagian Tiga: Berkenaan dengan fase perkembangan kota pada era ketiga hingga kelima

Hastakutha Malang dalam Sejarah Daerah Malang

Era ke-3 Kuthajaja (abad XIII)

Nama “Kutharaja” disebut dalam kitab prosa (gancaran) “Pararaton”, yakni sebutan kuno untuk ibu kota (kadatwan) Tumapel antara mas pemerintahan Ken Angrok (abhusekanama “Sri Ranggah Rajasa sang Amurwabhumi”) hingga pada periode awal pemerintahan Wisnuwardhana (1222- 1268 Masehi). Pada peta topografi (rupa bumi) tahun 1811, didapat tempat bernama “Kutharaja” pada areal kemudian disebut dengan “Kuthobedah“, tepat di eks-areal Bong Cino (kompleks pemakaman Tiong Hoa), yang terletak di sekitar pertemuan (tempuran) tiga sungai, yakni Brantas, Amprong dan Bango. Kutharaja adalah ibutota kerajaan Tumapel pada paro yang pertama, sebelum direlokasikan ke utara, yaitu ke Singosari di era pemerintahan Smuningrat (Wisnuwardhanat) dan Kertanegara (1268-1292 Masehi).

Pada fase ke-3 ini perkotaan kuno direlokasi dari sub-area utara Kota Malang pada sisi utara Sub-DAS Hulu Brantas ke sub-area timur Kota Malang pada tempuran dari tiga sungai tersebut. Lantaran separo awal era Tumapel berkadatwan pada sub areal timur Kota Malang, maka terdapat cukup alasan untuk menempatkan Kutha Tumapel pada wilayah Kota Malang sekarang, yaitu selama  tiga setengah dasawarsa (tahun 1222-1268 Mesehi).

Era ke-4 Kutha Kabalan (abad XV)

Salah sebuah diantara dua kerajaan bawahan (nagari) Majapahit di wilayah Malang adalah Kabalan — satu yang lainnya adalah Nagari Tumapel. Toponimi kuno “Kabalan” didapati sebagai nama eks dusun di Kelurahan (dulu “Desa”) Kedungkandang di lereng barat Gunung Buring, yaitu Dusun Kebalon. Nama “Kabalan” disebut dalam sumber teks Masa Hindu-Buddha era Majapahit, baik prasasti atau susastra. Kitab Nagarakretagama (1365 Masehi) maupun Prasasti Waringin Pitu (1447 Masehi) mengemukakan bahwa Kusumawarddhani, yang ini putri mahkota Hayam Wuruk, menjabat sebagai ratu di Nagari Kabalan, sehingga setelah marhum disebut “Bbhattara i (Bhre) Kabalan. Nama lain darinya adalah “Mahamisi” atau “Dyah Savitri”, yang diberitakan sebagai berparas cantik (ahayu), dan piawai dalam menyanyi serta menari. Ia istri dari Bhre Tumapel, yang bernama ” Wikramawarddhsna”menempati pusat pemerintahan (kadatwan) di Kabalan pada DAS Amprong di sub-area timur Kota Malang.

Teranglah bahwa pada keemasan (golden period) masa Majapahit Kabalan menjadi kota kuno, (ancient city), malahan ibu kota kerajaan bawahan (nagari), yang dalam sejarah wilayah Kota Malang merupakan perkotaan era ke-4. Sebelum dijadikan ibu kota nagari, menurut susastra “Pararaton”, menjelang lahirnya kerjaan Tumapel, status Kabalon hanya merupakan “desa undagi (peranin) emas yang bertetangga dengan pusat Watak Tugaran (kini “Tegaron” , Kelurahan Lesanpuuro. Tergambar bahwa terjadi perbesar pusat kota dari Kutharaja (kini berlokasi di Kuthobedah) ke arah timur pada lereng barat Gunung Buring (di dalam peta topografi tahun 1811, nama kuno dari Gunung Buring adalah “Gunung Malang)”. Sentra peradaban di Malang berbesar dari DAS Brantas ke DAS Amprong.

Balai Kota Malang Tempo Dulu, Sumber : http://munirfiles.files.wordpress.com/2008/06/gemeentehuis.jpg

Era ke-5 Madyapura (abad XVII)

Pada akhir Majapahit, berdasar keterangan dalam Prasasti Pamintihan (1473 Masehi), yang ditulis atas perintah dari raja Majapahit yang bernama “Suraprabhawa”, ditetepkan suatu desa perdikan (sima, swatantra) bernama “Pamintihan”. Anugerah “sima” itu diberikan kepada Arya Surrung. Menurut kenangan di dalam Prasasti keterangan Pamintihan itu, letak Pamintihan di sebelah utara Tugaran dan di barat Kabalan. Bila Tugaran berada di Kelurahan Lesanpuro dan Kabalan terletak dalam Kelurahan Kedungkandang, maka desa kuno Pamintihan berada di Kelurahan Madopuro ditambah lagi dengan Sekarpuro dan Madopuro.

Yang penting untuk dicermati adalah bahwa pada sub-area timur Kota Malang, yakni di lembah sisi barat DAS Amprong terdapat empat buah toponimi yang memiliki unsur nama “puro”, yaitu (1) Kelurahan Madopuro di posisi tengah (madyo/a = tengah), (2) Kelurahan Lesanpuro pada posisi selatan, (3) Dusun Ngadipuro pada posisi timur, dan (4) Desa Sekarpuro di posisi utara. Semestinya, masih ada satu tempat lagi yang memiliki unsur nama “puro” pada posisi barat. Jika benar demikian, terdapat formula “4 + 1”, yang terkait dengan konsep “empat penjuru mata angin plus sentum”.  Kawasan dengan formula ” 4+1″ ini adalah “pusat kota”, yang tercermin dari kata “pura” dalam arti: kota.

Sangat mungkin kota kuno itu merupakan pusat Kadipaten Malang, dengan Adipati I “monco negoro wetan” Malang adalah Ki Ageng Gribik, yakni Gribik “yunior”, dengan Gribik “senior” adalah murid Syeh Manganti pari erah Pertumbuhan Islam. Kadipaten ini kalau itu berada di dalam naungan Kasultanan Mataram di era pemerintahan Sultan Agung. Bila benar demikian, Madyopuro yang merupakan pusat pementasan Kadipaten Malang adalah era ke-5 perkotaan di dalam sejarah daerah Malang. Pada era ke-5 ini, lokasi pusat kota masih berada di sub-area timur wilayah Kota Malang. Dengan demikian sub-area timur dijadikan pusat kota hingga tiga era, yaitu era ke-3, ke-4, dan ke-5.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like