HomeOutlookEducation & IssuesKEMULIAAN “IBU BHUMI (PERTIWI)” YANG KIAN TERDEGRADASI: Refleksi “Hari Kartini” dan “Hari Bumi”
Malang

KEMULIAAN “IBU BHUMI (PERTIWI)” YANG KIAN TERDEGRADASI: Refleksi “Hari Kartini” dan “Hari Bumi”

“Om Bhumhaya Namah”

MTC MEDIA – Malang. Tulisan ini didedikasikan untuk dua momentum hari, yaitu : (1) Hari Kartini pada 21 April maupun (2) Hari Bhumi (Earth Day) pada 22 April. Sebutan “Kartini”, yang menunjuk kepada sosok perempuan “Pahlawan Emansipasi Wanita”. Adapun bumi di dalam kategori dua (dualisme kosmologis, binary oposition) juga diidentifikasikan sebagai “maskulin”, yang karenanya acap disebut “ibu Bumi” atau “Dewi Ibu (Bhudevi)”. Atas dasar kedua momentum itu, maka tulisan bersahaja ini sengaja menelaah mengenai “Ibu Bhumi (Prativi)”.

Ragam Sebutan untuk “Bumi”

Ada beragam sebutan untuk bumi (istilah arkaisnya “bhumi”). Selain sebutan “bumi”, terdapat sejumlah kata lain yang bersinonim dengannya, yaitu adam, alam, ardi, bentala, butala, buana (bhawana), darat, dunia, globe, jagat, pertiwi, planet, rat, tanah, benua (banua), mayapda, marcapada, lingkungan dsb. Istilah “bumi” menjadi salah satu kosa kata dalam bahasa Indonesia, yang menunjuk pada : (1) planet tempat manusia hidup, dunia, jagat; (2) planet ke-3 dari matahari; dan (3) permukaan dunia, tanah, tempat berpijak, tempat tinggal manusia, tanah tumpah darah. Kata jadian “membumi” mengandung arti: menetap (tinggal) di satu tempat; menuju ke bumi, mendarat di bumi,  realistis (tentang pandangan atau pemikiran) (KBBI, 2002).

Bumi adalah planet rumah kita, planet ke-3 dari matahari. Diantara beragam planet, yang paling kita kenal adalah planet bumi, lantaran kita tinggal di dalamnya. Sebagian besar manusia berada atau tinggal di bagian planet bumi yang tidak cair, yaitu pada tanah padat. Perihal ini selaras dengan akar kata Inggris Kuno “eorΓΎe”, yang mempunyai arti ganda, baik “tanah (dunia material)” atau “tempat tinggal manusia”, sebagai lawan kata dari surga dan neraka.

Ilustrasi Bumi dari “Akasa”. Foto: Pixabay

Salah satu sebutan, tepatnya sebutan arkais dari bumi, adalah “pratiwi (varian penulisannya “pαΉ›athivΔ«”). Paparan berikut ini membicarakan tentang “pratiwi (bahasa Indonesia “pertiwi”), yang acapkali dipadu dengan kata “ibu” menjadi kata gabung “ibu Pertiwi”, yang bersinonim dengan “ibu bumi”. Kamus Besar Bahasa Indomedia (KBBI. 2002) menyatakan bahwa kata “pertiwi’ menunjuk pada: (1) bumi; (2) dewi yang menguasai bumi; (3) tanah tumpah darah; ibu pertiwi. Baik kata “prativi” atau “bhumi” merupakan kata di dalam bahasa Sanskreta yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan arti yang kurang lebih sama.

Bhumi (Prativi) dalam Konsepsi Nusantara Lama

  1. Bhumi (Prativi) sebagai “Sakti” Wisnu

Dalam mitologi Hindu, Bhumi (Prativi) adalah salah satu diantara para Dewi, sehingga acapkali disebut “Dewi Bhumi” atau “Dewi Prativi”. Ada sejumlah sebutan lain bagi-Nya, seperti “Dhra, Dharti, Dhrthri”, artinya kurang lebih :  yang memegang semuanya. Sebagai, Dia adalah salah satu dari dua sakti (istri) dari Bhattara Wisnu — sakti lainnya adalah Sri Dewi Prthvi adalah bentuk lain dari Laksmi. Sebutan lain untuknya adalah “Bhumi, Bhudevi (ΰ€ͺΰ₯ƒΰ€₯ΰ₯ΰ€΅ΰ₯€)” atau Bhuma Devi”. Sebutan “Bhudrwi” inilah yang menjadi muasal sebutan “Dewi Ibu”. Tempat kediamannya ada di Dyulokha atau Bhurlokha, yakni “Dunia Bawah”, tempat kediaman manusia. Mitologi Hindu menggambarkan wahana (kendaraan) Dewi Prativi berupa lembu (sapi) atau gajah.

Potret penulis bersama Arca Parwati. Foto: Dwi Cahyono

Ada pula kata gabung “pαΉ›thivΔ« matā ” atau “Ibu Pertiwi (Motherland)”, yang adalah lawan dari “dyaus pita” atau disebut juga dengan “Bapak Angkasa (Space Father)”. Konsepsi dualisme kosmologis, yaitu “Akasa (angkasa) – Prativi (Pertiwi)” di dalam konsepsi lama berkenaan dengan oposisi biner (binary oposition), yang telah dikenal dalam kitab Rgveda. Perihal keduanya juga disebutkan dalam suatu prasasti pendek (short inscripstion) di situs Pasrujambe dari era akhir Majapahit asal lereng selatan Mahameru di Lumajang, yang berkenaan dengan pengharapan terhadap pasang insan yang berjodoh (salakirabi), yang dibarati dengan “kadi boting Akasa lawan Pratiwi (bagai beratnya angkasa dengan Pertiwi)”. Secara simbolik, dua elemen alam yang berlawanan (opposition) namun sekaligus berpasangan (saling melengkapi atau saling isi) itu, Bumi diidentifikasikan sebagai “wanita (feminin)”, sedangkan angkasa sebagai laki-laki (maskulin).

  1. Bumi (Tanah) sebagai Salah Satu Elemen Pancamahabhuta

Bumi (prtiwi) acap pula diartikan dengan: tanah (earth). Dalam konsepsi Hindu, tanah merupakan salah satu diantara lima elemen pembentuk jagad raya (mikrokosmis), yang terdiri atas: unsur padat, cair, cahaya, udara, dan ruang. Kelima unsur alam tersebut dikenal dengan sebutan “paΓ±ca mahābhΕ«ta” (paΓ±ca: lima, mahābhΕ«ta: unsur penyusun yang kasar, yang dapat didefinisikan dan kasat mata). Alam semesta terdiri atas (a) bhuana agung (jagad gede), dan (b) bhuana alit (Jagad Cilik). Baik buwana agung ataupun Bhuwana alit keduanya dibentuk oleh paΓ±ca mahābhΕ«ta, yang merupakan unsur gaib dan abadi, yaitu: Cetana dan Acetana. Yang disebut juga sebagai “sebab mula terciptanya segala yang ada (causa prima)”. Cetana berkedudukan diatas, yang berwujud sebagai kesadaran tertinggi. Adapun acetana berkedudukan di bawah, yang berwujud maya.

Pertemuan Cetana dengan Acetana menciptakan Purusa dan Pradana, yang merupakan sumber roh dan materi. Pertemuan Purusa dan Pradana menciptakan citta-guna. Pertemuan setiap citta dan guna menghasilkan Panca Tan Matra dan Panca Maha Bhuta. Kelima unsur itu bercampur menjadi satu dan membentuk brahmanda-brahmanda (planet- planet) di alam semesta. Setiap planet memiliki kadar unsur yang lebih menonjol dari unsur yang lain, sehingga terdapat planet-planet yang berbeda. Unsur pañca mahābhūta merupakan unsur nyata di dalam kehidupan ini.

Sebagaimana sebutannya, yaitu Panca Mahabhuta , alam.semesta (cosmos) terdiri atas lima unsur, yaitu : (1) teja, sebagai unsur cahaya, sinar maupun panas, yang bisa dilihat melalui Rupa Tan Matra (penghilatan) serta dirasakan melalui Rasa Tan Matra (indra perasa); (2) apah, sebagai unsur cair, yang dapat dirasakan melalui Sparsa Tan Matra (sentuhan) dan Rasa Tan Matra (indra perasa); (3) bayu, sebagai unsur udara, yang merupakan segala unsur angin, yang sering dirasakan manakala berhembus melalui Rasa Tan Matra (indra perasa); (4) perthivi, sebagai unsur padat yang bersifat tetap, yang dapat dirasa melalui Rupa Tan Matra (penglihatan), Rasa Tan Matra (indra perasa), mauoun Sparsa Tan Matra (sentuhan); dan (5) akasa (ether), sebagai unsur ruang, baik ruang kosong maupun berisi), yang dapat dilihat melalui Rupa Tan Matra (penglihatan). Demikianlah, prativi merupakan salah satu diantara pañca mahābhūta, yakni unsur-unsur pembentuk bhuwana gede ataupun bhuwana alit.

  1. Shita, Inkarnasi Prativi dalam Wiracarita Ramayana

SΔ«tā (ΰ€Έΰ₯€ΰ€€ΰ€Ύ) adalah tokoh protagonis pada wiracarita Ramayana, yakni istri dari Sri Rama. Menurut pandangan Hindu, Sinta merupakan inkarnasi Laksmi, dewi keberuntungan, sakti (istri) Dewa Wisnu. Di dalam Ramayana, Sri Rama digambarkan sebagai inkarnasi dari Dewa Wisnu. Adapun istrinya, yaitu Dewi SΔ«tā, digambarkan sebagai inkarnasi Laksmi. Oleh karena Dewi Prativi dikonseosikan sebagai inkarnasi dari Dewi Laksmi, maka dalam konsepsi ini Dewi Sinta dapat juga dinyatakan sebagai inkarnasi dari Dewi Pratiwi.

Wayang Dewi SΔ«tā (ΰ€Έΰ₯€ΰ€€ΰ€Ύ). Foto: wayangku.files.wordpress.com

Hubungan antara SΔ«tā dengan Prativi antara lain tergambar pada bagian terakhir dari tujuh bagian (sapta kanda) Wiracarita Ramayana, yaitu ketika SΔ«tā menjalani “uji kesetiaan terhadap suami” dengan terjun kedalam kobaran api unggun (pancaka). Ketika jasatnya melesat turun ke dalam dasar api unggun, serta merta bumi terbelah. Jasatnya terus meluncur hingga tiba di suatu pangkuan. Ternyata, itu adalah pangkuan Dewi Pertiwi, yakni Dewi yang berinkarnasi pada dirinya. Itulah sebabnya, istilah “Pertiwi” atau “Ibu Pertiwi” acap dipadu dengan kata “pangkuan” menjadi β€œpangkuan Ibu Pertiwi”.

Hubungan Manusia dengan Pertiwi (Bhumi)

Dalam kisah Dewi Sita diatas, Pertiwi digambarkan sebagai “penolong (mesias)”, pemberi pertolongan terakhir kepada manusia ketika pertolongan lainnya tiada hadir atau pertolongan yang ada telah habis. Seorang anak yang tengah menghadapi cobaan berat acap mencurah tangis di pangkuan bunda (ibu pertiwi). Demikian pula, para pahlawan yang gugur acapkali digambarkan sebagai bunga melati yang berguguran ke pangkuan Ibu Pertiwi (pemukaan tanah). Tanah sebagai “dunia bawah” diibarati dengan “ibu”, sehingga ada penambahan kata “ibu” sebelum kata “Bhumi” dan “Pertiwi” menjadi “Ibu Bhumi (motherland)”, atau dinamai juga dengan “Ibu pertiwi”. Dalam kategorisasi dua pada unsur- unsur alamiah, Pertiwi ditempatkan di bawah, dan dimaknai sebagai “feminin”, serta mendapat sapaan “Ibu Prativi”. Adapun akasa (angkasa) diposisikan diatas, dimaknai sebagai “maskulin”, dan mendapat sebutan sebagai “Bapa Akasa”.

Kedekatan hubungan antara manusia dengan tanah terlihat jelas dalam budaya agraris. Kaum tani adalah para pengolah tanah, mengais rejeki dengan membudidayakan tanaman di permukaan tanah. Pertiwi antara lain dimaknai dengan “tanah”, unsur alamiah padamana manusia petani “nggulowenthah lemah (mengolah tanah)” untuk memetik buah guna menyambung hidupnya. Para petani dan peternak memiliki hubungan religis kuat dengan Laksmi — yang berinkarnasi sebagai “Dewi Bhumi (Prativi)”. Dalam kaitan itu terdapat sebutan “Dhanya Laksmi”, dalam arti : kekayaan pertanian, tumbuhan, dan perkebunan, yang ikonografinya digambarkan sebagai mengenakan kain saree warna biru dan tangan memegang ulir padi. Untuk para peternak, terdapat sebutan “Gaja Laksmi”, yang berarti: kekayaan pe- ternakan, air, hujan, dan kekuasaan, yang dalam ikonografi Hindu digambarkan mengenakan saree berwarna merah disertai dengan dua ekor gajah di belakangnya.

Tanah dengan demikian adalah unsur alamiah yang penting, yang dalam konsepsi Hindu dinyatakan sebagai salah senuah diantara lima  unsur Pancama-habbhuta, yaitu lima elemen (unsur) pembentuk jagad gede maupun jagat cilik. Kehidupan manusia (bhuwana alit, jagad cilik. mikrokosmis) antara lain ditopang oleh tanah (bumi atau pertiwi). Tanah dimana ia dilahirkan, dibesarkan, menua, lalu mati berkalang tanang tanah. Bumi atau nenegri yang menjadi tempat dimana manusia dilahirkan disebuti dengan “tanah tumpah darah alias ibu pertiwi”.

Urgensi dari tanah itulah yang menjadi dasar pertimbangan untuk memberikan kata predikat “sang hyang” untuk Prativi menjadi “Sang Hyang Prativi”. Penghormatan kepada Pertiwi juga tergambar pada pengonsepsian Prativi (Bhumi) sebagai seorang Dewi, yaitu Bhudevi, Dewi Bhumi atau Dewi Prativi, yakni inkarnasi dari Dewi Laksmi sebagai sakti dari (istri) Wisnu.

Pemujaan kepada Dewa Bumi tak hanya kedapatan di India — yang sangat boleh jadi berpengaruh ke Nusantara, namun juga didapati di China. Adalah “Hou Tu (后土) sebagai “Penguasa Bumi” atau “Dewi Bumi”, yakni dewata alam yang dipuja secara resmi hingga akhir masa kekaisaran di negeri Tiongkok. Ia juga disebut dengan “Dizhi (地η₯—)”, yang adalah persamaan dari “Taiyi (Persatuan Agung)”, dan diyakini  mewakili Surga. Pemujaan terhadap Dewa/i Bumi dilakukan di musim panas. Bahkan, di era Dinasti Han (206 SM-8 M) dibangun altar untuk-Nya di dalam lingkungan ibu kota, terutama di sisi sebelah  selatan ibukota. Hou Tu sering kali dianggap sebagai dewa (maskulin), namun terkadang dipandang sebagai dewi (feminin). Sebagai dewi, ia juga disebut “Hou Tu Niang Niang”.

Refleksi Hari Kartini dan Hari Bumi

Peringatan Har Kartini (21 April) dilakukan sehari sebelum Hari Bumi (22 April). Hanya jeda sehari antara keduanya. Disamping berdekatan waktu, baik “Kartini — tepatnya adalah “Ibu Kita Kartini” — dan Bhumi (Pratiwi) keduanya dikonseosikan sebagai wanita. Komponen di jagad raya yang penting dan berdayaguna, sehingga dihormati dan dihargai. Pada masa lampau pengormatannya secara religis melalai pujaan dalam upacara keagamaan. Penghargaan terhadap Bhumi (Bhuwana, Bhawana) juga tergambar pada suatu sasanti “memayu hayuning bhawana”, yakni membuat lebih baik dan menjaga agar tetap baik kebaikan dunia.

Apakah kemuliaan bumi (pertiwi) dan wanita terus menerus dimuliakan dari masa ke masa? Seiring dengan pertambahan demografis, yang disertai dengan perambahan alam dan kegiatan ekonomi yang eksploitatif terhadap alam. Pemulian terhadap ibu (perempuan) juga memperlihatkan fenomena yang degradatif. Kini bumi maupun Ibu kurang mendapatkan penghormatan, tak sepenuhnya dimuliakan. Mendapatkan perlakuan demikian, ibu pertiwi hanya bisa menangis, seperti tergambar pada lirik lagu “Kulihat Ibu Pertiwi” karya Ismail Marzuki — ada pendapat lain bahwa lagu ini disusun oleh komposer Kamsidi Samsuddin pada sekitar tahun 1908.

Kulihat ibu pertiwi

Sedang bersusah hati

Air matamu berlinang

Mas intanmu terkenang

……..

Demikianlah tulisan ringkas dan bersahaja, yang sengaja penulis dedikasikan untuk memperingati Hari Kartini dan sekaligus Hari Bumi. Semoga bisa memberikan kefaedahan bagi pembaca budiman. Nuwun.

Griyajar CITRALEKHA, 22 April 2024

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like