HomeOutlookEducation & IssuesSonjo Kampung: Gerakan Sosio-Kultura “Sonjo Kampung”

Sonjo Kampung: Gerakan Sosio-Kultura “Sonjo Kampung”

MTC MEDIASangkaling-Malang. Tulisan bersambung mengenai “Sonjo Kampung: Pendekatan Kultural Kemitraan untuk Pemberdayaan Kampung di Jawa” bagian dua, berhikayat tentang pendekatan gerakan sosio-kultura yang dilakukan dalam kegiatan sonjo kampung.

Gerakan Sosio-Kultura “Sonjo Kampung”

Kegiatan sonjo bukanlah merupakan acara formal, namun lebih banyak hadir sebagai acara non-formal dalam bingkai (frame) interaksi sosial yang harmonis. Prinsip sonjo pada dasarnya adalah bertamu dan berkumpul. Rasa persaudaraan, kekeluargaan atau pertemanan menjadi daya dorong (thrust) bagi seseorang/sekelompok orang untuk men-sonjoi seseorang/sekelompok orang atau pihak lain. Perilaku sosial yang demikian pada masyarakat Jawa telah berlangsung sangat lama, sehingga cukup alasan untuk dinyatakannya sebagai “tradisi sosial” Jawa. Sebagai perilaku arif, interaksi di lingkungan sosial terbatas (tertentu) ini bisa dibilang sebagai “kearifan sosial lokal”.

Salah sebuah lokalitas dalam satuan sosial di Jawa adalah apa yang disebuti denganΒ  “kampung”, yakni bagian yang lebih kecil dari desa (anak desa, setara dengan dusun atau dukuh). Aktifitas untuk mengunjungi kampung disebuti dengan “sonjo kampung“. Pada kegiatan ini, sejumlah orang yang terdiri atas persona-persona atauΒ  kelompok (komunitas) berkunjung ke warga kampung mitra. Pihak berkunjung datang ke kampung itu atas dasar kesukarelaan, kesetiakawanan sosial, tanpa pamrih untuk bertukar fikiran, untuk kerjasama secara mutualistik, untuk saling bantu, atau untuk saling berbagai (sharing) pengetahuan, ketrampilan dan pengalaman.

Ilustrasi sonjo kampung. Foto: Wikipedia

Pihak yang punya pengetahuan cukup, mempunyai ketrampilan tertentu, dan mempunyai cukup pengalaman membagikan pengetahuan, ketampilan dan pengalamannya kepada pihak lain secara sukarela dan tanpa presensi “menggurui”. Aktifitas berbaginya itu dimaksudkan untuk membantu pihak lain dalam mendewasakan (maturation) dirinya. Ada masukan berharga yang dikontribusikan terhadap warga kampung lain yang disonjoi sesuai dengan pengetahan, ketrampilan dan pengalamannya sebagai ikhtiar untuk memperkuat (merevitalisasi) ketahanan eko-sosio-kultura kampung mereka.

Ada kesediaan dari pihak pesonjo untuk mendiskusikan rencana aksi dari warga kampung yang disonjoinya untuk memformulasikan konsep dan desain, pendekatan, strategi hingga program-program kegiatan kampung yang dirancang untuk dilaksanakan ke depan. Bahkan, boleh jadi ada kesediaan untuk turut membantu dalam pelaksanaan hingga evaluasi pasca pelaksanaan kegiatan. Hubungan saling bantu mewarnai relasi sosial ini, yang terselenggara bukan semata-mata demi proyek sosial, demi keunntungan finansial ataupun material, sebaliknya demi bhakti sosialnya. Dalam hal ini “kebersamaan” menjadi kata kunci.

Bersambung…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like