Masyarakat Jawa memiliki tradisi yang tak lekang usia dalam memperingati Hari Raya Hijriyah, yaitu Grebeg Suro.
Grebeg Suro, cara masyarakat Jawa merayakan Tahun Baru Hijriah. Tradisi Grebeg Suro menyebar di seluruh Jawa dengan keunikan dan ciri khas masing-masing. Secara garis besar, budaya ini merupakan proses akulturasi budaya Jawa dan agama Islam. Grebeg Suro ini merupakan warisan leluruh yang diwariskan secara turun-temurun mengambarkan nilai kebersamaan, toleransi, dan penghormatan terhadap budaya.

Tertulis dalam sejarah bahwa tradisi Grebeg Suro ini muncul pada abad ke-8 Masehi, ketika terbentuknya Kerajaan Mataram Islam. Pada awalnya perayaan ini merupakan prosesi upacara agama Hindu-Budha, kemudian melebur bersama masuknya Islam ke Nusantara. Dari perkembangan dan penyebarannya, tradisi Grebeg Suro dilaksanakan sesuai dengan adat dan tradisi daerah setempat, sehingga tidak ada kesamaan yang persis. Utamanya, rangkaian Grebeg Suro ini akan dimulai dengan melaksanakan shalat berjamaah dan berdoa bersama. Selanjutnya, masyarakat akan melakukan perayaan budaya lainnya, seperti tumpengan, wayangan, dan festival seni budaya. Seperti Festival Reog di Ponorogo, Jamasan Pusaka dan Lampah Budaya Mubeng Beteng di Yogyakarta, Kirab Pusaka Dalem di Surakarta.

Alasan lain masyarakat Jawa memperingati Hari Raya Hijriah juga karena di hari tersebut bertepatan dengan malam Satu Suro. Malam Satu Suro dipercaya oleh masyarakat Jawa sebagai bulan yang suci serta menyimpan energi spiritual yang tinggi. Selain itu, malam Satu Suro dimanfaatkan para pemeluk kepercayaan Kejawen sebagai prosesi intropeksi diri, serta memanjatkan doa untuk hajat satu tahun kedepan. Bagi masyarakat Jawa, malam Satu Suro diperingati sebagai malam tahun baru di penanggalan Jawa. Menurut penanggalan Jawa yang dibuat oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645) pada Jumat Legi, Jumadil Akhir 1555 Saka atau 8 Juli 1633 Masehi disebutkan bahwa sang raja membuat satu hari didalam satu tahun khusus untuk hari mensucikan diri. Rakyat Kerajaan Islam Mataram menghayati hari tersebut untuk mengolah tata batin dari hal duniawi.
Bagi generasi muda saat ini mungkin prosesi ini terkesan kuno. Tetapi, tidak semerta-merta budaya ini hanya simbol sejarah adat Jawa dari Kerajaan Islam Mataram. Melainkan, masyarakat ingin menjaga nilai luruh dari generasi sebelumnya. Local wisdom menjadi penting, karena bangsa yang tidak menjaga budaya akan mudah hilang dari koordinat peta dunia. Oleh karena itu, penting untuk menjaga tradisi yang diwariskan leluhur. Meskipun digitalisasi dan modernisasi semakin meluas, namun dengan inovasi budaya bangsa tetap bisa lestari. Bahkan, menjadi potensi untuk disebarluaskan secara global.