HomeOutlookEducation & Issues“HASTAKUTHA” MALANG: Alur Relokasi Pusat Kota pada Hastakutha Malang
Malang

“HASTAKUTHA” MALANG: Alur Relokasi Pusat Kota pada Hastakutha Malang

MTC MEDIA – Malang. Tulisan bersambung menyambut Hari Jadi “Pemerintahan Kota Malang” ke-110. Berbicara mengenai sejarah rekonstruksi perkotaan Malang. “HASTAKUTHA” MALANG: Rekonstruksi Sejarah Perkotaan di Timur Gunung Kawi Lintas Masa. 

Bagian Akhir: Berkenaan dengan alur relokasi Kota Malang

Alur Relokasi Pusat Kota pada Hastakutha Malang

Dalam perjalaban panjang sejarah daerah Malang, lokasi pusat-pusat kota tidak menetap di suatu tempat. Paling tidak telah mengalami delapan kali relokasi, yaitu ; (a) sub-area barat pada era ke-1, yakni Kutha Kerajaan Kanjuruhan dan Kutha Watak Kanjuruhan pada Masa Hundu-Buddha (abad VIII dan abad IX-XV), (b) sub-area utara pada era ke-2, yaitu Kutha Tamwlang di Masa Hindu-Buddha (abad X), (c) sub-era timur pada era ke-3, ke-4 dan ke-5, yang meliputi Kutharaja, Kutha Tugaran dan Kutha Kabalan pada Masa Hindu-Buddha abad X, XIII dan XIC-XV), maupun Madyapura (komplek perkotaan = pura, di bagian yang tengah = madya) pada masa Perkembangan Islam (abad XVI- XVIII), serta (d) sub-area tengah, yaitu Kutho Katunenggungan Malang (abad XVIII), Kutho Kabupaten Malang (abad XIX-XX) dan Kutho Kota Praja Malang (awal abad X hingga kini) sejak Masa Kolonial hingga memasuki Masa Kemerdekaan RI  Pada depan kali relokasi, hanya sub-area di selatan saja yang tidak dijumpai jejaknya bahwa konon pernah dijadikan titik sentra perkotaan.

Jika menilik alur gerakkan relasinya, terlihat mula-mula di sub-area barat, kemudian ke sub-area utara, lantas ke sub-area timur, dan terakhir di sub-area tengah. Model alur relokasinya itu adalah “lingkaran memusat”. Dalam hal itu, nampaknya realitas ekologis di wilayah Kota Malang, utamanya sungai, tanah berbukit, dan tanah datar, serta aksesnya dari/menuju ke daerah lain menjadi faktor-faktor yang turut dikalkulasi dalam memilih suatu tempat bagi areal pusat kota keberadaan “kali suci” Metro pada era ke-1 dan Bangawan Brantas pada era ke-2, ke-3, ke-6, ke-7 dan ke-8, serta Kali Amprong pada era ke-4 dan ke-5. Tanah membukit di Kutho Bedah menjadi pertimbangan untuk area kota era ke-3 dan Bukit Buring (Gunung Malang) pada era ke-4.  Adapun akses di daerah pedalaman Malang ke/dari Pasuruan dan Surabaya menjadi pertimbangan untuk meletakkan pusat kota pada era ke-6, ke-7 dan ke-8. Sub-area tengah yang semula merupakan kawasan hutan yang berada di sebelah selatan dan barat aliran Brantas dan sebelah timur aliran Metro, baru pada era ke-6, ke-7 dan ke-8 dijadikan sebagai pusat kota hingga kini.

Balai Kota Malang. Foto: MTCMedia/Rafi

Demikianlah, wilayah di Kota Malang, yang memiliki karakter ekologis khas, yakni pada lintasan sungai- sungai dan di lingkung gunung, antara lain menggunakan kalkulasi ekologis khas daerahnya dalam menentukan suatu tempat bagi pusat perkotaan. Pada sejarah panjang perkotaan Malang itu, yang terang, daerah di pedalaman Jawa Timur ini tercatat dalam sejarah sebagai beberapa kali menjadi pusat peradaban, yakni menjadi pusat pemerintahan kerajaan (kadatwan) kerajaan dan kerajaan bawah, sebagai pusat pemerintahan Kabupaten dan Kota, bahkan sejak tahun 1926 pernah pula dijadikan pusat karesidenan. Oleh karena itu cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa wilayah di Kota Malang, yang oleh kitab gabcaran Paparaton diistilahi “kawasan di timur (sakaridaning) Kawi” ini tercatat di dalam sejarah sebagai pernah tampil menjadi tempat yang penting pada sejarah Jawa, paling tidak sejarah Jawa Timur atau Sejarah Malang Raya. Nuwun.

Sangkaling, 15-3-2020 (diperbaharui 1-4-2023.dan 1-4-2024), Griya Ajar CITRALEKHA

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You might also like