MTC MEDIA – Malang. Tulisan bersambung menyambut Hari Jadi “Pemerintahan Kota Malang” ke-110. Berbicara mengenai sejarah rekonstruksi perkotaan Malang. “HASTAKUTHA” MALANG: Rekonstruksi Sejarah Perkotaan di Timur Gunung Kawi Lintas Masa.
Bagian satu: Muasal Nama Malang dan Kilas dari Sejarah Panjangnya
MALANG KOTA SUBUR
Betapa indah gemilang
Kota Malang
Kota di datar tinggi
Sejuk, menarik hati
Yang Brantas melintas berliku
Yang tepi dilindung gunung
Penuh pemandangan sehat
Malang kota berkat
Ya, Malang kota harapan
Setiap insan
Lihat gedung s’kolahnya
Lihat industrinya
Sekitarnya penuh tamasya
B’ri sehat jiwa dan raga
Marilah kawan bersyukur
Malang kota subur
(Lirik.lagu “Malang Kota Subur, R. Dirman Sasmokoadi, populer tahun 1970-an)
Muasal Nama “Malang” dari Toponimi Arkais Malang”, Bukan dari “Malangkuceswara”
Sabtu, 1 April 2023, Kota Malang memperingati hari jadinya yang ke-109, terhitung sejak ditetapkannya “Kota Praja (Gemeete Malang) pada tanggal 1 April 1914 di era Hindia-Belanda. Hari jadi yang kini dipengingati adalah “Hari Jadi Pemerintahan”, tepatnya terbentuknya” Pemerintah Kota Praja Malang (kini dinamai “Pemerintah Kota Malang”). Usia 109 tahun bukanlah usia “Daerah Kota Malang”, yang tentunya jauh lebih tua dari sekedar 109 tahun. Bukti historis dan arkeologis menunjukan bahwa “sejarah perkotaan” di wilayah yang kini bernama “Kota Malang” telah hadir semenjak medio abad VIII Masehi, yaitu sebagai Pura (kota) dari Kerajaan Kanjuruhan, seperti diinformasikan oleh Prasasti Kanjuruhan (760 Masehi).
Tugu Kota Malang di depan Balai Kota. Foto: MTCMedia/Rafi
Sejarah perkotaannya itu terus berlanjut memasuki masa-masa sesudahnya. Salah satu diantara 8 (delapan) fase “sejarah kota” pada daerah Kota Malang adalah yang terlahir tahun 1914. Oleh karena itulah perlu dibedakan antara “Hari Jadi Pemerintah Kota (Kota Praja atau Gemeente) Malang”, yakni 1 April 1914, dan “Hari Jadi Daerah Kota Malang” yang lebih awal dari tahun 1914. Berkait dengan hal yang terakhir itu, apa pertanda bagi “hari jadi daerahnya”? Patut untuk dipertimbangkan sebagai penandanya adalah tercatatnya nama (toponimi) “Malang” sebagai nama tempat di daerah Malang. Nama “Malang telah disebut di dalam Prasasti Ukirnegara kelompok III (ada juga yang menyebut dengan Prasasti “Pamotoh”) — amat mungkin bertarikh Saka 1120 (1198 Masehi), seperti tarikh prasasti kelompok II. Disebutkan bahwa salah seorang Rakryan Patang Juru — bernama Dyah Limpa dan tinggal di Gasek (kini dukuh di Desa Karangbesuki), yang termasuk dalam wilayah Pamotoh — mendapat hadiah tanah dari Sri Maharaja yang penyerahannya diwakili oleh Rakryan Pamotoh dan Rakryan Kanuruhan. Tanah yang dihadiahkan tersebut di antaranya adalah “tanah di sebelah timur tempat berburu, yang bernama Malang “… taning sakrid malang akalihan wacid lawan macu pasabhanira dyah limpa makanagaran i … di sebelah timur tempat berburu sekitar Malang bersama wacid dam macu, persawahan Dyah Limpa yaitu …”).
Sebagai nama bagi suatu tempat (desa kecil) pada tepian hutan yang banyak binatang buruannya, yang berada di sebelah timur (sakird) Gunung Kawi. Nama “Malang” juga digunakan untuk menyebut nama bukit, yang hingga tahun 1811 dipetgunakan untuk menyebut bukit yang melintang pada wilayah Kota Malang, yaitu “Gunung Malang”, yang kemudian lebih populer dengan sebutan “Gunung Buring”. Desa kuno Malang pada masa akhir Kerajaan Kadiri itu tentulah berada di wilayah Kota Malang sekarang, karena termasuk di dalam wilayah Rakai Pamotoh. Penguasa di watak Pamotoh kala itu adalah Dyah Limpa, yang bertempat tinggal di Gasek.Tergambar bahwa semula “Malang adalah nama suatu desa”, yang lambat-laun dijadikan nama Katumenggungan, nama Distrik, Kademangan, dan belakangan menjadi nama Kabupaten dan Kota. Jelas bahwa nama “Malang” sejak awal sudah menjadi nama tempat. Adapun nama “Malangkuceswara” adalah sebutan untuk bangunan suci (baca “candi”) yang berlatarkan Hindu-Siwa, dimana sebutan ini juga kedapatan pada inskripsi pendek di komplek Candi Prambanan dan disebut pula di dalam Prasasti Mantyasih (907 Masehi) dari Kampung Mateseh, Magelang Utara. Bangunan suci Malangkuceswara juga diberitakan di dalam prasasti era Balitung bertarikh 905 Masehi dari dekat Singosari. Berarti, konon bangunan suci dengan sebutan “Malangkuceswara” tidak hanya kedapatan di daerah Malang, namun juga kedapatan di Jawa Tengah pada permulaan abad X Masehi.
Nama “Malang” sejak semula telah menjadi nama tempat di wilayah Kota Malang. Dengan perkataan lain, “Malang” adalah toponimi arkhais, yang telah ada di wilayah Kota Malang paling tidak pada abad XII Masehi. Oleh karena itu, muasal nama “Malang” tak perlu dispekulasikan secara taktikuk (otak-atik- gathuk) alias dicari-cari dari “Malangkuceswara”. Saatnya, mohon maaf musti diluruskan, daripada terjadi “salah kaprah” bertahun-tahun hingga kini.
Sejarah Panjang Perkotaan di Malang
Sebuah di antara tiga daerah di Malang Raya adalah Kota Malang. Unsur sebutan “kota” di dalam “Kota Malang” tidak hanya berkenaan dengan status administrasi pemerintahan daerahnya sebagai “Kota (Gemeente, Kota Praja)” — untuk membedakannya dengan status “Kabupaten (Regent) “, namun lebih dari itu konsepsi “kota” juga bertalian dengan aspek sosio-kultura, termasuk juga tata lingkungan buatan (artifical environment) di daerahnya. Pendek kata adalah sistem kehidupan masyarakat kota (urban), yang sebenarnya di tiap lapis masa punya sistem perkotaannya masing-masing.
Dalam sejarah panjang Malang Raya, sistem perkotaan telah kedapatan semenjak Masa Hindu-Buddha, kemudian memasuki Masa Perkembangan Islam, Masa Kolonial hingga Masa Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Dengan perkataan lain, perkotaan di Malang Raya telah “menyejarah”, melintas masa. Seakan sejarah “mentakdirkan” kawasan Malangraya, khususnya daerah Kota Malang, sebagai areal perkotaan (urban area). Oleh karena itu, gambaran sekilas mengenai kota demi kota bisa didapatkan jejaknya dari masa ke masa dalam Sejarah Perkotaan Malang, meskipun tidak semua lapis masa itu diperoleh gambarannya yang sama jelasnya.
Namun demikian, paling tidak, terdapat cukup alasan untuk nyatakan bahwa hingga sejauh ini terdapat 8 (delapan) era perkotaan (hastakutha) dalam “Sejarah Daerah Malang”. Pada konsepsi ini, Gemeente (Kota Praja, kini Kota) Malang yang dibentuk pada tanggal 1 April 1914 oleh pemerintah kolonial pada era Hindia-Belanda adalah “era perkotaan terakhir” di antara “Hasta Kutha Malang” tersebut. Berikut ini paparan mengenai Hasta Kutha Malang di tulisan berikutnya.
bersambung…..