MTC MEDIAย – Lombok. Tradisi bau nyale-dalam bahasa Sasak-salah satu suku di Lombok, (bau; tangkap, nyale; sejenis cacing laut), sudah menjadi tradisi tahunan yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Beberapa tahun terakhir, tradisiย bau nyale Suku Sasak ini, menjadi perhatian wisatawan nusantara dan bahkan mencanegara karena dianggap unik. Dibalik keunikannya, tradisi bau nyale sarat desngan nilai-nilai moral dan filosofi.
Hampir satu dekade terakhir, tradisi bau nyale ditetapkan menjadi kalender event nasional, setelah menyita perhatian wisatawan domestik dan mancanegara. Tradisi Suku Sasak yang sudah berlangsung ย ratusan tahun silam ini, masih dipelihara masyarakat suku Sasak khususnya masyarakat Lombok Tengah. Pasalnya, pada saat inilah, silaturahmi antar kawan lama atau anggota keluarga yang berada luar Lombok, pulang untuk mengikuti perayaan bau nyale. Di acara inilah mereka bisa bertemu dan berkumpul untuk memperkuat tali silaturahmi yang sempat hilang.
Beberapa tahun terakhir, tradisiย bau nyale, menyita perhatian banyak wisatawan. Tidak saja wisatawan lokal Lombok, tetapi juga wisatawan nusantara bahkan mancanegara. Menurut salah seorang wisatawan asal Jakarta, Umi Hayati, tradisiย bau nyaleย di kalangan suku Sasak tergolong cukup unik. Nyale yang akan ditangkap, dinanti sejak malam sebelumnya. Diiringi dengan pembacaan mantra lontar sejarah masyarakat Lombok. Dalam lontar inilah tertulis pesan moral sejarah dimulainya tradisi tahunan ini.
Di malam hari, para tetua adat membaca lontar, sembari memohon agar nyale yang dinanti-nanti masyarakat muncul ke permukaan. Nyale atau cacing laut yang dinanti warga Lombok ini, muncul sebelum fajar dan akan segera menghilang setelah munculnya matahari pagi. Menjelang fajar, atau sebelum subuh, masyarakat Lombok dan seluruh warga yang tumpah ruah di lokasi pantai Aan, dan pantai Seger, Kuta mulai menanti di pinggir pantai untuk menangkapnya.
Sebagian warga Lombok, biasanya telah menyiapkan jaring kecil untuk menangkapnya. Ada juga yang menggunakan alat sederhana berupa kaleng minuman atau menggunakan tangan. Disinilah tempat kebahagiaan masyarakat Lombok setelah mendapatkan cukup banyak tangkapan. Uniknya lagi, jika jelang fajar nyale tidak juga muncul ke permukaan, masyarakat akan marah sambil berteriak kesal. Anehnya, setelah masyarakat marah dan berteriak, nyale itu tiba-tiba muncul ke permukaan. โKadang-kadang tidak muncul sama sekali. Kami yang sudah menanti sejak semalaman kesal. Dan biasanya setelah itu nyale akan keluar dengan sendirinya,โ ungkap warga setempat, Rahmat, Kamis 29 Februari 2024 di pantai Aan.
Sejarah Tradisi Bau Nyale
Dalam sejarah masyarakat Sasak, Nyale diyakini sebagai jelmaan dari Putri Mandalika (kemudian akrab disebutย Putri Nyale). Putri Mandalika adalah seorang putri raja di Lombok Tengah, yang dulu menjadi rebutan para pangeran dari berbagai kerajaan di Lombok. Karena kecantikannya, para pangeran mengaku rela mati, bertarung sesama pangeran untuk mendapatkan cinta sang putri. Melihat kondisi yang tidak menguntungkan itu, Putri Mandalika khawatir akan terjadi pertumpahan darah antar putra mahkota kerajaan.
Singkat cerita, untuk menghindari pertumpahan darah sesama saudara, Putri Mandalika kemudian menyatakan akan mengumumkan siapa pangeran yang akan mendapingi hidupnya. Seluruh pangeran diminta berkumpul di pinggir pantai Seger, untuk mendengarkan siapa pangeran yang akan dipilihnya. โSeluruh pangeran saya minta berkumpul di pinggir pantai Seger saat fajar, dan saya akan mengutarakan siapa pangeran yang pantas menjadi pendamping hidupkuโ begitulah ungkap Putri Mandalika dalam kisah babat Suku Sasak itu.
Dan benar, menjelang fajar, seluruh pangeran berkumpul di tempat yang telah ditentukan sang putri. Seluruh pangeran penasan dan bertanya-tanya, siapa gerangan yang akan dipilih sang putri. Setelah semua berkumpul, sang putri mulai menyampaikan niatnya. Putri Mandalika, tepat berdiri di tepiย jurang yang dibelakangnya lautan. Putri Mandalika tidak ingin terjadi pertumpahan darah sesama saudara, sesama pangeran kerajaan. Putri Mandalika menyatakan menerima seluruh lamaran pangeran dan berjanji semua pangeran dapat menikmati tubuhnya. Sesaat setelah mengucapkan kalimat itu, Putri Mandalika menceburkan diri ke laut. Setelah menceburkan diri ke laut, Putri Mandalika menghilang tanpa bekas dan muncullah ribuan cacing laut.
Cacing laut yang muncul ke permukaan air laut, diyakini sebagai penjelmaan Putri Mandalika. Setelah peristiwa itu, Putri Mandalika muncul sekali setahun, sesuai yang ditetapkan dalam kalender Sasak. Seluruh pangeran yang patah hati dengan Putri Mandalika, menangkap dan mengkonsumsi cacing laut jelmaan Putri Mandalika. Putri Mandalika telah menepati janjinya menerima semua pangeran yang mencintainya dan bisa menikmati tubuhnya. Nilai filosofi yang terkandung dalam cerita itu, nilai-nilai persaudaraan lebih tinggi dari segalanya. Untuk menjaga nilai-nilai persaudaraan itu, nyawa pun rela dikorbankan.
Di era kekinian, kisah Putri Mandalika, terus diingat masyarakat Lombok. Tidak saja pangeran, tetapi seluruh masyarakat Lombok bisa menikmati tubuh Putri Mandalika yang dalam cerita itu menjelma menjadi cacing laut.
Nyaleย atau cacing laut, banyak dikonsumsi masyarakat Lombok dimasak dalam bentuk pepesan. Selain dikonsumsi, tidak sedikit juga masyarakat Lombok Tengah yang meyakini, cacing laut yang ditangkap dalam tradisi itu, dijadikan sebagai pupuk di tanah sawahnya. Mereka percaya, akan mendapatkan hasil panen berlimpah setelah ditaburiย nyale. Sebagian lagi, ada juga yang percaya nyale bisa dijadikan obat tertentu. Namun, kebenaran soal pengakuan masyarakat itu, masih perlu dibuktikan melalui penelitian mendalam.
Puncak tradisiย bau nyale, tahun ini jatuh pada hari Kamis, 29 Februari 2024. Namun, diyakini masyarakat Lombok nyale masih akan muncul dalam beberapa hari ke depan. Hanya saja tidak sebanyak pada hari pertama. Masyarakat Lombok menyebutย nyale potoย (nyale yang muncul terakhir, atau dikahir waktu). (*)